Sumbawa Besar, Fokus NTB – Dalam memperingati Hari Perempuan Internasional merupakan momentum untuk merefleksikan perjuangan perempuan melawan diskriminasi, ketidakadilan, dan kekerasan yang wujudnya semakin nyata di tengah krisis pandemi Covid-19 ini. Perempuan telah bersuara, bergerak, dan berkelompok untuk melawan dominasi kuasa serta tetap sepenuh hati mengerjakan tugas-tugas domestik yang tidak pernah usai,” ucap Kardiana, Ketua Solidaritas Perempuan (SP) Sumbawa.
Dominasi kuasa patriarki selama ini membatasi ruang gerak perempuan melalui stereotipe agar perempuan tetap di rumah, situasi kerentanan dan kekerasan berlapis harus dirasakan perempuan di berbagai aspek tidak terkecuali bagi korban kekerasan seksual yang sampai hari ini terus terjadi di Sumbawa, namun realitas menyedihkan di tengah masifnya korban kekerasan seksual aktor negara abai untuk memberikan payung hukum dalam melindungi korban kekerasan seksual dengan tidak mengesahkan RUU PKS (Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual), tambah Diana.
Disisi lain, dominasi kuasa kapitalisme yang menghancurkan ruang kelola sumber penghidupan perempuan melalui kebijakan yang berorientasi pada industri global sehingga berdampak terhadap peminggiran peran dan pemiskinan yang struktural perempuan petani, buruh tani,dan perempuan nelayan (pesisir). Dominasi kuasa Negara yang menghasilkan kebijakan diskriminatif bagi perempuan buruh migran hingga harus mengalami ketidakadilan berlapis dan menjadi korban kekerasan seksual, dan rentan atas perdagangan manusia (trafficking). Sedangkan pekerja migran dan keluarganya memperjuangkan hak atas pengakuan, pemenuhan dan perlindungan pekerja migran, serta melawan kebijakan diskriminatif Perempuan buruh migran menantang bentuk ketidakadilan melalui jalur non litigasi hingga memperoleh kemenangan.
“Bu Salama, salah seorang perempuan petani yang dikuatkan SP Sumbawa” menambahkan bahwa kami kelompok perempuan petani memilih untuk menantang situasi ketidakadilan yang kami rasakan dengan bergerak bersama perempuan di Desa untuk mempertahan pangan local yang ada. Kami membangun kebun kolektif dengan menanam tanaman local dengan tetap menggunakan pupuk organic yang kami buat sendiri dalam upaya menantang penyeragaman benih yang mengancam kedaulatan pangan kami.dan berusaha terlibat didalam ruang-ruang rapat pengambilan keputusan yang selama ini sulit kami akses diakses.
Aksi perempuan tersebut merupakan fakta bahwa pengalaman perempuan memiliki substansi mendalam karena mereka tidak hanya berjuang untuk dirinya sendiri tetapi juga lingkungannya. Melalui penguatan dan pendidikan politik yang tepat, perempuan membentuk kolektif-kolektif yang berkontribusi pada pembenahan sistem hingga memegang peran penting dalam pengambilan keputusan yang dapat memberi dampak positif secara lebih luas kepada perempuan lainnya.
Solidaritas Perempuan Sumbawa menuntut pengesahan RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual), pemerintah tidak abai dalam menangani kasus-kasus perempuan buruh migran yang ada di Sumbawa, dan perempuan di beri ruangterhadap akses ruang-ruang pengambilan keputusan. (Deds)