Oleh Yuli Andari Merdikaningtyas
Pegiat Komunitas Sumbawa Cinema Society (SCS) dan ketua Yayasan Masyarakat Film Sumbawa (YMFS)
Tanggal 30 Maret 2022 ditetapkan sebagai Hari Perfilman Nasional (HFN) melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 25 Tahun 1999. Tanggal ini ditetapkan sebagai momen penting dalam dunia perfilman Indonesia karena bertepatan dengan hari pertama shooting film Darah dan Doa atau Long March of Siliwangi karya Usmar Ismail yang diproduksi oleh Perusahaan Film Nasional Indonesia (PERFINI) tahun 1950. Meski demikian, Darah dan Doa bukanlah film pertama yang diproduksi di Indonesia. Pada saat Indonesia masih bernama Hindia Belanda, dua orang sutradara bernama G. Kruger dan L. Heuveldolp memproduksi Loetoeng Kasaroeng pada tahun 1926. Sedangkan antara tahun 1942 – 1945, Jepang memproduksi film yang digunakan sebagai alat propaganda. Sehingga, semangat dari produksi film pertama buatan Indonesia inilah yang dijadikan tonggak bersejarah dalam menentukan HFN.
HFN telah diperingati selama 72 tahun. Tentu saja, bukan waktu yang sebentar untuk melihat jejak langkah perfilman Indonesia. Pada era Orde Lama, kebijakan kebudayaan terkait dengan perfilman Indonesia mengarah pada diplomasi budaya Indonesia di kancah internasional serta menentukan kepribadian Indonesia. Sebagai negara yang baru saja merdeka, Presiden Soekarno meletakkan kesenian termasuk didalamnya film, sebagai sebuah alat untuk mengenalkan Indonesia di mata dunia sekaligus membentuk kepribadian bangsa. Usmar Ismail, sutradara film Darah dan Doa dianggap sebagai sutradara film yang mampu memasukkan kesadaran nasional kedalam filmnya sehingga ia diberi predikat sebagai “Bapak Film Indonesia”.
Film sebagai alat diplomasi budaya dan pembentukan karakter dan kepribadian Indonesia ini seolah terputus ketika rezim berganti. Pada zaman Orde Baru, dunia perfilman Indonesia malah seolah berbanding terbalik dengan masa sebelumnya. Kebanyakan bioskop-bioskop di Indonesia justru dibanjiri oleh film-film import, terutama dari Amerika, Cina, dan India. Hingga akhir tahun 1990-an, kondisi film Indonesia benar-benar mengalami keterpurukan. Kehadiran teknologi baru seperti VCD seolah menggantikan peran bioskop sebagai satu-satunya tempat nonton film. Penonton bioskop mulai menyusut sehingga untuk bertahan banyak bioskop yang memutar film-film vulgar dan erotis. Akhir tahun 1990-an, banyak bioskop yang tutup terutama di daerah-daerah, termasuk di Sumbawa.
Era kebangkitan kembali dunia perfilman di Indonesia ditandai dengan hadirnya film Kuldesak tahun 1998. Film ini merupakan omnibus karya empat sutradara muda Indonesia yaitu Riri Riza, Mira Lesmana, Nan Achnas, dan Rizal Mantovani. Keempat sutradara tersebut adalah lulusan sekolah film baik di dalam maupun luar negeri. Kelak, mereka menjadi pelaku industri perfilman di tanah air yang berhasil membuahkan karya-karya yang mengharumkan nama Indonesia di ajang festival film internasional.
Jejak-Jejak Sinema dan Generasi Awal Pembuat Film di Sumbawa
Berbicara tentang jejak-jejak film di Sumbawa tidak bisa dipisahkan dengan kehadiran bioskop-bioskop yang tersebar di beberapa kecamatan yang ada di Kabupaten Sumbawa, di antaranya: Sumbawa Theater dan President Theater di Sumbawa Besar; Indra Theater di Kecamatan Utan; Bioskop Nce Sihe dan Pamanto Theater di Kecamatan Empang; dan Alas Theater di Kecamatan Alas. Bioskop-bioskop ini memutar film Indonesia, Asia (India dan Cina), dan Barat yang didominasi oleh film Amerika.
Pada era 1980an film-film laga pernah berjaya di bioskop Sumbawa. Film-film berjudul Saur Sepuh, Tutur Tinular, dan Misteri Gunung Merapi adalah film laga lokal yang memiliki banyak digemari. Film-film Hongkong yang dibintangi oleh Bruce Lee dan Jet Lee juga banyak ditonton. Untuk film Barat, film-film Jean Claude Van Dame sangat digemari anak muda.
Selain film komersial, film ‘wajib tonton’ yang direkomendasikan oleh negara juga diputar di bioskop. Sejak tahun 1984, rezim Orde Baru melalui tangan dingin sutradara Arifin C. Noer memproduksi film Pengkhianatan G 30 S/PKI. Film ini dan film sejenisnya yang berjudul Pemberantasan Sisa-Sisa PKI di Blitar Selatan (1987) harus ditonton oleh seluruh siswa di Indonesia pada saat film ini dirilis. Alasannya, agar para siswa dapat mewaspadai bahaya laten komunisme yang menjadi ideologi terlarang di Indonesia.
Selain masalah ideologi yang dianggap bertentangan dengan Pancasila, film ‘wajib tonton’ yang ditunjuk negara adalah tentang Operasi Seroja atau upaya pemberantasan gerakan separatisme di Timor Timur yang berjudul Langit Kembali Biru (1990). Sedikit berbeda film sebelumnya yang menyasar segmen penonton umum termasuk anak-anak, Langit Kembali Biru yang dibintangi oleh sepasang idola remaja Indonesia pada saat itu, Ryan Hidayat dan Sonia Dora Carrascalao, menyasar penonton remaja. Pesan yang disampaikan dalam film tersebut agar remaja atau anak muda tidak terpengaruh gagasan disintegrasi yang dipropagandakan oleh kaum separatis.
Akhir tahun 1990-an, dua bioskop di Sumbawa Besar yaitu Sumbawa Theatre dan President Theatre tidak beroperasi lagi. Disusul dengan bioskop-bioskop lainnya di kecamatan-kecamatan. Penyebabnya karena banyak masyarakat yang sudah beralih media tontonannya ke televisi maupun ke VCD/DVD bajakan yang sangat gampang didapatkan di pasaran dengan harga yang murah. Bangunan-bangunan bioskop di kecamatan-kecamatan ini kemudian beralih fungsi menjadi gudang, ruang pertemuan, bahkan supermarket. Beberapa dari gedung bioskop ini masih dapat dilihat bentuk orisinilnya seperti pada saat di bangun. Namun, ada juga yang sudah berubah sama sekali bentuk maupun fungsinya. Bahkan, telah berdiri bangunan yang sama sekali baru.
Selain bioskop sebagai ruang tonton, terdapat pula kegiatan produksi film di Sumbawa pada masa itu. Film Sapugara yang disutradarai oleh Adi Pranajaya (1991) merupakan kegiatan produksi film pertama yang dilakukan oleh sutradara Sumbawa dan mengangkat kisah ketokohan Dea Mas Unru, seorang Enti Desa (setingkat kepala desa) dalam struktur pemerintahan Kesultanan Sumbawa yang menentang pajak tanah pada zaman Hindia Belanda. Film ini termasuk dalam kategori fiksi sejarah yang diangkat dari kisah hidup Dea Mas Unru. Biaya produksi film ini sebagian besar didukung oleh Pemerintah Daerah Tingkat II Sumbawa. Adi Pranajaya merupakan sutradara kelahiran Sumbawa yang sejak kuliah menekuni dunia teater di Mataram. Ia lalu hijrah ke Jakarta dan menekuni dunia perfilman dibawah bimbingan Teguh Karya. Ia juga pernah menjabat sebagai Kepala Sinematek Indonesia atau Pusat Perfilman H. Usmar Ismail, Jakarta.
Pengantar diskusi “Jejak Langkah Film Lokal Sumbawa”, tanggal 1 April 2022 di Studio SCS – Kronik Sumbawa dalam Perayaan Hari Film Nasional Ke-72.