Bulan Agustus selalu diiringi dengan suka cita dan “pesta” peringatan hari kemerdekaan oleh hampir seluruh rakyat Indonesia. Ada banyak ekspresi perayaan kemerdekaan yang dilakukan. Barangkali tiap daerah memiliki khas dan cara berskspresi yang beda-beda. Tiap Agustus, selalu menjadi semangat baru bagi bangsa Indonesia, terutama semangat untuk menyatu dan satu. Baik dalam pemikiran maupun gerakan. Walau ada juga yang masih enggan menyatu, tidak lain karena persebrangan pilihan politik.
Terlepas dari hal tersebut, kita rakyat Indonesia baru saja atau bahkan sampai saat ini masih merayakan hari jadi Negara tercinta, Republik Indonesia. Saya sendiri bersama santri Bani Hasyim Malang berjalan 7500 langkah untuk sampai di puncak Bukit Jabal dan melaksanakan apel bendera. Tantangan menaklukan Bukit Jabal memang tidak sesulit menaklaukan kaum penjajah zaman dahulu. Tetapi begitulah cara kami merefleksikan perjuangan rakyat Indonesia dalam merebut kemerdekaan.
Begitupula di sekolah, kampus atau perguruan tinggi. Ada banyak cara dan ekspresi kembahagiaan merayakan 17 Agustus, terlebih pasca pandemi, dimana dua tahun terakhir apel bendera dilaksanakan via online. Tahun ini sepertinya balas dendam. Hhe
Mahasiswa utamanya, mengingat perayaan kemerdekaan tahun ini berbarengan dengan penerimaan mahasiswa baru, seperti semakin seru. Bahkan saya lihat dibeberpa perguruan tinggi ngajak maba demonstrasi. Apapun dan bagaimanapun itu, saya rasa hal tersebut adalah bagian dari cara memperingati kemerdekaan, termasuk kemerdekaan berpendapat.
Namun beda halnya dengan pejabat kampus, setelah pesta 17 Agustus, ada bapak ibu yang melanjutkan pestanya. Sebut saja salah satu rektor PTN yang kena operasi tangkap tangan (OTT) akibat jual beli bangku kampus. Parahnya lagi kena OTT dalam acara pembentukan karakter, ini lucu tapi sungguh sangat miris. Walah bapak, bapak, apa tidak cukup gaji rektor satu bulan untuk menghidupi dan memenuhi kebutuhan? Kok yo masih saja ambil keuntungan dari mahasiswa. Hal lain yang paling memalukan ialah rentetan dan keagungan gelar akademik nyatanya tidak mampu menjadi benteng, sebaliknya, ia menjadi alat untuk menghisap darah dan memakan daging manusia lainnya!
Barangkali, jika ditelusuri lebih jauh lagi, tentu tidak hanya satu PTN yang melakukan hal serupa. Bisa jadi dibanyak PTN terjadi suap menyuap alias beli bangku. Ini menjadi ancaman bagi masa depan pendidikan Indonesia. Jika hanya orang berduit yang bisa menikmati bangku kuliah, bagaimana dengan si miskin,anak buruh, petani, nelayan yang ada diunung Indonesia sana?
Disisi yang lain, makin jelas, bahwa orientasi pendidikan kita ialah ladang bisnis bagi bapak Rektor, wakil rektor dan seterusnya. Tidak heran jika nilai dominan dalam pendidikan ialah materialisme dan pragmatisme. Masa bodo dengan manusia bertaqwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab, sebagaiman UU no 22 tahun 2003. Tidak ada itu UU dalam sistem pendidikan, yang ada hanya untung atau rugi. Kalau rektor dapat untung, kalau rektor dapat cuan pendidikan jalan. Kalau pejabat kampus rugi, ya gimana caranya harus cari untung, alias gak mau rugi pokoknya!
Lantas, bisakah pendidikan kita menjadi wadah memanusiakan manusia saat dipimpin oleh makhluk yang bukan manusia? Masih adakah akhlaq dan moral dalam pendidikan saat ini? Apakabar pendidikan pancasila? Apakabar pendidikan agama? Apa kabar pendidikan merdeka?
Pesta-pesta besar yang mencekik masyarakat di dunia pendidikan harus dibubarkan secepatnya oleh penegak hukum. Organisasi dan masyarakat Indonesia harus mendorong penegak hukum agar mengusut dan menghukum para pelaku. Begitupula dengan presiden Jokowi, harus tegas dan cepat dalam menangani persoalan yang substansial di negeri ini. Jangan sampai hal gelap langgeng di dunia pendidikan negeri ini. Jika pendidikan sudah dinodai dengan korupsi dan suap menyuap, lantas lembaga apalagi yang bisa menyelamatkan negeri ini dari keterpurukan?
Pendidikan Indonesia harus dikembalikan sebagaimana amanah dalam undang-undang, sebagaimana dicita-citakan oleh guru dan founding fathers kita, HOS. Tjokroaminoto, Ki. Hajar Dewantoro, KH. Hasyim As’ari, KH. Ahamad Dahlan dan lain sebagainya. Jangan sampai generasi saat ini membuat sedih dan marah para pejuang negeri. Selamatkan pendidikan Indonesia.