NasionalPemerintahanPeristiwaSerba Serbi

Tikus Di Tubuh Pendidikan: Pemerintah Jangan Bisu, Buta dan Tuli

User Rating: Be the first one !
Oleh: Hendra Jaya (Koornas Aktivis Peneleh 2020-2022, Presidium World Youth Association)

Freire dalam tulisannya Politik Pendidikan, menyampaikan bahwa, pendidikan adalah wahana untuk mencapai pembebasan (sejati). Secara garis besar, tujuan dari pendidikan ilah mencetak insan kamil (manusia paripurna). Namu dewasa ini, nyatalah bahwa pendidikan kita tidak lagi mampu  mencetak insan-insan paripurna, agen pembebasan. Justrus pendidikan kita hanya mereproduksi tangan-tangan tuhan baru yang hanya mementingkan diri dan kelompoknya. Tidak mengherankan, toh manusia-manusia yang berada di puncak kepemimpinan pendidikan adalah iblis-iblis yang menjelma menjadi manusia. 

Operasi tangkap tangan (OTT) rektor Unila atas kasus suap senilai 1M rasanya menjadi tamparan keras bagi dunia pendidikan. Lembaga yang diharapkan mampu mencetak manusia merdeka yang paripurna, nyatanya hanya kubangan lumpur tempat para tikus bernyanyi, bermain dan membunuh satu sama lain. Kasus rektor Unila bukan kasus korupsi pertama pendidikan kita. Namun, kasus rektor Unila cukup membuka kembali mata hati, batin dan pikiran kita, utamanya pemangku kebijakan dan penegak hukum untuk mengusut tuntas kasus ini hingga ke akarnya. Bila perlu semua rektor PTN diperiksa saja. 

Karena kami menduga, bahwa bisa jadi, rektor-rektor PTN di Indonesia, melakukan hal serupa. Lihat saja data yang dirilis oleh ICW, kurun waktu 2005-2015 ada 425 kasus korupsi pendidikan yang mengakibat negara mengalami kerugian 1,3 triliun rupiah, belum lagi kasus suap yang mencapai 55 miliar. Selanjutnya, rentan waktu 2016-2021 ada 240 kasus korupsi pendidikan di Indonesia. Tak tanggung-tanggung, kerugian negara mencapai 1,6 triliun rupiah. Korupsi tersebut banyak melibatkan kepala dinas pendidikan beserta staf dan pegawainya, kepala sekolah, ASN hingga sekelas kepala daerah dan DPR melakukan korupsi pendidikan. Bolehkan saya memasang kecurigaan, bahwa menteri Pendidikan juga melakukan korupsi. 

Semakin jelas, bahwa mencerdaskan anak bangsa melalui desain pendidikan nasional yang pragmatis-sekuler tampak hanya mimpi dan omong kosong. Alih-alih mencetak manusia paripurna, pendidikan justrus menjadi tempat tinggal para tikus. Selama membaca beberapa data dari ICW, saya membayangkan, jika uang-uang tersebut digunakan untuk memenuhi fasilitas, menunjang gaji para guru dan membiayai pendidikan anak-anak yang ada di pelosok negeri, saya yakin, diksi Indonesia maju yang sering disampaikan oleh Presiden dan jajarannya tentu bukan lagi omong kosong.

Di tengah kasus dan realitas yang menerpa pendidikan nasional saat ini, menteri hingga presiden tidak boleh diam. Mereka harus bertanggung jawab penuh dalam menyelesaikan masalah pendidikan. Pendidikan kita harus sesegera mungkin diselamatkan. Selain keluar dari paradigma dan desain pendidikan yang pragmatis-materialis. Menteri atau presiden harus tegas untuk membasmi tikus di dalam rumahnya.

Jika Kapolri berani bertindak tegas akan bawahannya, semestinya menteri pendidikan, Nadima Karim harus pula berani bertindak tegas. Kalau sudah melanggar amanah Pancasila dan UU, untuk apa dipertahankan lagi, pecat saja dan jangan beri ruang kembali dalam dunia pendidikan. Karena tikus kalau sudah ketemu karung gabah, pasti diporak porandakan. 

Di satu sisi, kita sama-sama sepakat bahwa pendidikan adalah wadah untuk membentuk karakter dan budi anak bangsa. Lantas, jika pimpinan tertinggi di satu perguruan tinggi melakukan korupsi, bagaimana bisa bicara karakter, akhlak dan budi yang luhur? Tentu ini lagi-lagi menjadi mimpi.

Pemerintah, organisasi masyarakat hingga masyarakat sendiri dituntut untuk membuat desain pendidikan yang berbasis pada nilai, bukan lagi pada materi. Kita punya Pancasila, tapi lagi-lagi ia tidak hadir dalam ruang-ruang pendidikan kita. Ia hanya hadir dan tertempel di dinding kelas! Secara praktik, NIHIL. So,masihkan kita sepakat pancasila sebagai ideologi bangsa ditengah ketidakhadirannya dalam ruang-ruang kemasyarakatan?

Bagi saya, selain membasmi hama berupa tikus, desain pendidikan yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila merupakan jalan keluar untuk pendidikan kita. Lima Sila yang dikonstruksi oleh para pejuang bangsa harus dihadirkan dalam ruang-ruang pendidikan. Baik dalam kurikulum, praktik hingga ruang diskursus untuk mengkonstruksi kembali negeri ini. Kawan saya mengatakan kembali ke fitrah Nusantara melalui Pancasila. Ini tanggung jawab bersama, jangan sampai menjadi manusia sebagaimana dalam al-Qur’an, bisu, buta dan tuli  (al-Baqarah: 18).  Mereka seperti orang tuli, sebab mereka telah kehilangan fungsi pendengaran dengan tidak mengikuti kebenaran yang didengar. Mereka juga seperti orang bisu karena tidak mengucapkan kebenaran oleh sebab hati mereka tertutup, sehingga tidak tergerak melakukan itu. Dan mereka juga seperti orang buta, karena kehilangan fungsi penglihatan, baik melalui mata kepala (basar) ataupun mata hati (basirah), dengan tidak mengambil pelajaran dari hal-hal yang mereka lihat, sehingga pada akhirnya mereka tidak dapat kembali dari kesesatan itu kepada kebenaran yang telah mereka jual dan tinggalkan.

FokusNTB

Pengelola menerima semua informasi tentang Nusa Tenggara Barat. Teks, foto, video, opini atau apa saja yang bisa dibagi kepada warga. Untuk berkirim informasi silakan email ke fokusntb@gmail.com

Related Articles

Back to top button