Film “Sang Punggawa Laut Sumbawa” Masuk Daftar 30 Seleksi Awal FFI 2023
Sumbawa,Fokus NTB – Setelah tahun lalu membanggakan Sumbawa dan NTB sebagai Runner Up Eagle Awards Documentary Competition (EADC) 2022, film dokumenter “Sang Punggawa Laut Sumbawa” kembali berkompetisi dalam ajang festival film. Kali ini, karya dua taruna Samawa, Harsa Perdana dan Muhammad Farhan ini masuk dalam daftar 30 Film Dokumenter Pendek seleksi awal Festival Film Indonesia (FFI) 2023.
FFI merupakan festival film pertama dan tertua di Indonesia. Didirikan oleh Bapak Sinema Indonesia, Usmar Ismail pada tahun , hingga saat ini FFI masih menjadi salah satu festival film yang paling bergengsi di Indonesia. “Sang Punggawa Laut Sumbawa” terseleksi masuk dalam 30 judul film dokumenter pendek di tahap awal penjurian FFI 2023 dari ratusan judul lain yang datang dari berbagai daerah di Indonesia.
Dikonfirmasi melalui wawancara, Harsa Perdana dan Muhammad Farhan mengungkapkan kegembiraan mereka. “Saya sangat senang mendengar bahwa film kami lolos FFI. Ini adalah pencapaian yang luar biasa dan merupakan pengakuan atas kerja keras kami dalam membuat film tersebut. Serta menjadi sebuah kesempatan untuk memperdengarkan suara-suara yang ingin kami sampaikan dalam film ini,” tutur Harsa.
Senada dengan Harsa, Aan, begitu Muhammad Farhan disapa, mengungkapkan, “Tentu saja kami merasa terhormat bahwa film kami terseleksi di tahap awal ini. Harapannya, film kami dapat lolos masuk finalis maka akan senang, apalagi ada nasib baik bisa memenangkan kategori film dokumenter pendek,” tambah Aan.
Sebelum menuju FFI, “Sang Punggawa Laut Sumbawa” telah melanglang buana ke beberapa festival film baik nasional maupun internasional. Salah satu festival internasional yang memberikan perhatian pada film dokumenter ini diantaranya: Student World Impact Film Festival (New Jersey, Amerika Serikat) yang diadakan secara daring. Festival ini juga mengundang sutradara untuk ikut acara penganugerahan secara daring pula.
Berbicara tentang film dokumenter, baik Harsa maupun Aan cukup optimis dengan bidang yang mereka geluti. “Meskipun sampai saat ini film dokumenter masih kalau populer dari film fiksi, namun film dokumenter yang bercerita berdasarkan fakta memiliki kekuatan tersendiri. Riset awal film dokumenter harus kuat dan ini butuh kesabaran dan ketekunan,” ungkap Harsa.
Aan menambahkan bahwa “Masa depan film dokumenter di Indonesia bisa dibilang sangat cerah, banyak sekali isu-isu sosial dan budaya yang belum di ekspos di negara kita. Hal ini jelas membuat film dokumenter bisa sangat berkembang karena pada dasarnya film dokumenter selalu berangkat dari isu-isu yang berada di sekitar kita,” tuturnya.
Saat diminta komentar tentang Festival Film Sumbawa yang saat ini sedang tahap pengiriman karya, kedua memiliki nada sama bahwa FFS yang diselenggarakan oleh komunitsa SCS adalah ajang yang luar biasa bagi para pelajar pembuat film dokumenter pemula.
“Ini adalah kesempatan untuk menampilkan karya kalian kepada publik dan mendapatkan pengakuan atas bakat kalian. Sayapun dulu pertama kali belajar membuat film ya lewat FFS, dari orang yang benar-benar hanya tau menonton film di balik layar hp maupun televisi, hingga sekarang dapat membuat film sendiri itu bermula dari FFS. Jadi Jangan takut untuk mengirimkan karya kalian ke FFS #4 tahun ini dan tunjukkan bahwa kalian memiliki suara yang unik dan berpotensi. Semangat!,” tutup Harsa.