EdukasiGaya HidupKabar WargaOpiniPeristiwaSerba SerbiSosial

Bicara Ancaman Nusa Tenggara Barat: Mulai dari Persoalan Pembangunan, Sumber Daya Alam Sampai Krisis Iklim

Oleh : Lalu Alwi

Nusa Tenggara Barat menjadi salah satu Provinsi yang cukup istimewa dari Provinsi lain di Indonesia, mulai dari teritorial kepulauan dengan sumber daya alam yang terdiri dari 1.064.970 hektar hutan lindung yang tersebar di 8 kabupaten/kota. Kemudian pesisir (maritim) dengan luas mencapai 29.159 kilometer persegi, luas ini mencakup perairan laut dengan luas 29.159 kilometer persegi mencakup wilayah sekitar Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa serta dengan garis pantai sepanjang 2.332,80 kilometer membentang dari Kota Bima di bagian barat hingga Kabupaten Dompu di bagian timur.

Namun, semakin maju kedepan ada banyak persoalan dan problem berupa problem institusional juga kultural yang terjadi dibalik kekayaan dan keluasan yang di banggakan oleh masyarakat Nusa Tenggara Barat tersebut. Banyak catatan-catatan perjalanan dan situasi terkait persoalan persoalan itu pernah terjadi dan pernah di tanggani baik dengan keterlibatan istitusional maupun kultural yang menandakan Nusa Tenggara Barat terancam masa depan yang tidak tertata baik.

Bermula sejak tahun 1979, 1990, 2000, 2010 sampai dengan sekarang, tercatat di tahun-tahun tersebut terjadi konflik berkaitan dengan sumber daya alam dan hak masyarakat dalam hal ini berkaitan dengan konflik agraria, begitupun sampai dengan saat ini formulasi-formulasi penangganan terus di bangun begitu berseiringan dengan persoalan yang sama terus lahir. Tim Penyelesaian Konflik Agraria (TPKA) dibentuk berdasarkan Keputusan Gubernur NTB Nomor 5-90162 Tahun 2021 tentang Tim Reforma Agraria Provinsi NTB yang di bentuk pada tanggal 25 Oktober 2021 sebagai salah satu jawaban atas persoalan-persoalan di atas akan tetapi tetap saja konflik-konflik serupa tetap menjamur.

Dilain sisi ada pembangunan yang begitu tidak sabaran dari pemerintahan daerah dimana menurut data dari Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat sendiri, terdapat lebih dari 100 proyek pembangunan besar yang sedang berlangsung atau direncanakan di NTB. Proyek-proyek tersebut mencakup berbagai bidang, antara lain Infrastruktur, Pariwisata, Perindustrian, Pertanian, Perikanan, dari beberapa bidang tersebut dapat kita lihat beberapa perencanaan seperti jalan tol Trans-Sumbawa, Bandara Internasional Lombok, Pelabuhan Lembar, Bendungan Tanju, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Sekotong, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika, Kawasan Industri Hijau di Lombok Timur, Smelter Nikel di Sumbawa Barat.

Dari Pembangunan yang masuk kategori besar jelas dampak positif dan negatif yang dapat dibaca baik sebelum pembangunan itu digalakkan demikian pasca pembangunan, dampak terhadap lingkungan atau sumber daya alam yang terancam bahkan bisa saja dikorbankan selama itu landasan-landasan baik yang berpihak pada lingkungan sebagai daya tahan terhadap dampak-dampak bencana kedepannya jelas di implementasikan. Dampak-dampak tersebut berseiringan dengan krisis iklim dimana tercatat semenjak bulan November 2022 telah terjadi 69 bencana alam.
Berdasarkan data dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), suhu rata-rata di NTB telah meningkat sebesar 1,5 derajat Celcius dalam kurun waktu 50 tahun terakhir. Peningkatan suhu ini telah menyebabkan perubahan pola curah hujan dan meningkatnya risiko kekeringan, begitu dengan curah hujan di NTB juga mengalami perubahan pola dan kekeringan dimana pada musim kemarau curah hujan menjadi lebih rendah dan intensitasnya lebih kecil, hal ini menyebabkan kekeringan yang lebih parah dan lebih lama pada bagian pesisir peningkatan muka air laut juga menjadi salah satu dampak krisis iklim di NTB. Peningkatan muka air laut ini telah menyebabkan banjir rob di beberapa wilayah pesisir NTB.
Berdasarkan data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Nusa Tenggara Barat, pada periode 1 Januari hingga 23 November 2022, telah terjadi 69 kejadian bencana alam di wilayah NTB. Bencana yang paling sering terjadi adalah banjir dan banjir bandang dengan 34 kejadian. Kemudian angin puting beliung 16 kejadian, kekeringan 9 kejadian, tanah longsor 7 kejadian, dan banjir rob 3 kejadian.
Kita dapat memahami krisis iklim muncul dari pemanfaatan energi fosil yang digunakan untuk berbagai keperluan, antara lain untuk pembangkit listrik, transportasi, industri, dan rumah tangga, kemudian perubahan tata guna lahan sehingga peran penting lahan hutan menyerap karbon dioksida tidak lagi normal, juga penggunaan pupuk dan pestisida, kemudian Industri dari proses produksi dan penggunaan energi yang begitu besar, terakhir limbah pembuangan sampah dan limbah cair, semua sebab diatas salah satunya melahirkan emisi gas rumah kaca hingga 50% bahkan lebih.
Maka dari semua yang dapat kita pahami diatas, penting akselerasi pembangunan dan lingkungan hidup yang dapat saling mendukung, baik dari sisi pembangunan yang taat dan sesuai dengan bagaimana lingkungan hidup itu sebagai pondasi yang tidak boleh dikorbankan begitu sebaliknya dengan berdirinya lingkungan hidup dan sumber daya alam akan meminimalisir bahkan menjawab dan mencegah dampak-dampak bencana yang akan terjadi kedepannya. Begitu, untuk mencegah dampak perubahan iklim yang semakin parah, kita perlu mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 50% pada tahun 2030 dan mencapai emisi nol bersih pada tahun 2050 sebagaimana itu menjadi muatan yang disampaikan Menteri Inggris Boris Johnson pada acara konferensi iklim COP26 yang diadakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa di glasgow, Skotlandia. Maka pembangunan yang sesuai dengan ketentuan atas keseimbangan terhadap sumber daya alam sebagai ketahanan utama krisis iklim menjadi perhatian wajib setiap pemerintahan. Bgeitu dengan mendudukan masa depan Nusa Tenggara Barat harus lebih baik dan maju sebagaimana akseleratif dengan situasi diatas di tahun – tahun selanjutnya.

Related Articles

Back to top button