3 CAHAYA DARI SUMBAWA DI MADRASAH DARUL ULUM MAKKAH
Oleh : Jeri Ardiansa, M.A
Sumbawa dengan moto ‘’Sabalong Samalewa’’ memiliki cita-cita yang luhur, pemimpin sumbawa tidak hanya diharapkan mampu memajukan Sumbawa dalam hal yg duniawi saja, seperti memperbaiki ekonomi rakyat, membuka lapangan pekerjaan, membangun rumah sakit, memperbaiki infrastruktur ataupun membangun tempat pariwisata yg dampaknya dapat dirasakan oleh masyarakat sekitar ataupun masyarakat Sumbawa secara luas. Tetapi dibalik moto ‘’Sabalong Samalewa’’mengandung makna membangun sumber daya manusia yang religius melalui pendidikan agama Islam. Relevan dengan pendapat H. Manggaukang Raba yang dikutip oleh Prof. Dr. Syaifuddin Iskandar dkk dalam bukunya berjudul ‘’Kebudayaan Samawa’’ bahwa ‘’Sabalong Samalewa’’mengandung arti berbuat hal positif, baik, atau kebajikan secara serasi, seimbang dan selaras.
Membangun Sumbawa secara seimbang antara duniawi dan ukhrawi, infrastruktur ataupun kualitas sumber daya manusia sudah dilakukan oleh Sultan-Sultan Sumbawa. Ketika Sultan Amrullah dan Sultan Muhammad Kharuddin III menjadi Sultan, beliau memiliki program pendidikan dengan mengirim putra-putra SAMAWA (sekarang menjadi daerah Kab. Sumbawa dan Kab. Sumbawa Barat) untuk belajar atau menimba ilmu agama Islam ke Makkah al-Mukarramah, sehingga dengan program positif ini, Sumbawa banyak melahirkan para alim ulama. Kisah hidup, biografi dak kiprah ulama sumbawa pernah ditulis dan dibukukan oleh Dr. Muhammad Saleh Ending, M.A dan Jeri Ardiansa, M.A dengan judul ‘’ULAMA SUMBAWA: Biografi, Kiprah dan Karya atau buku ‘’Sejarah dan Perkembangan Islam di Sumbawa’’ karya Hery Musbiawan.
Buku Ulama Sumbawa mengulas 22 Ulama Sumbawa, tetapi tulisan ini tidak membahas semua ulama yg ada didalam buku tersebut, tetapi fokus tulisan ini adalah mengulas 3 sosok ulama Sumbawa yang menjadi cahaya, guru, ustadz atau syaikh di Madarasah Darul Ulum Makkah, sebuah Madrasah yg sangat terkenal di seantero dunia Islam sekitar abad 20 M. Ketiga ulama sumbawa yang menjadi pengajar di Madrasah Darul Ulum diera kepemimpinan Syaikh Yasin bin Isa al-Fadani, yakni DGH. Ahmad Pisak, DGH. Damanhuji dan DGH. Shalih Wake. Sebelum penulis mambahas sekilas 3 sosok ulama dari Tana Samawa, penulis alangkah baiknya mengulas sejarah berdirinya Madrasah Darul Ulum, Makkah.
Sejarah Madrasah Darul Ulum, Makkah
Seorang sejarawan yang lahir dari rahim Pesantren Al-Anwar, Sarang, yakni Amirul Ulum dalam bukunya yang berjudul Al-Jawi-Al-Makki: Kiprah Ulama Nusantara di Haramain. Menjelaskan bahwa Darul Ulum didirikan oleh ulama yg berasal dari Nusantara dikarenakan suatu hari terjadi konflik antara pelajar dari Jawa/Nusantara yg nyantri di Madrasah as-Shaulatiyyah dengan Syaikh Madrasah as-Saulatiyyah. Bahkan kisah lain yang ditulis oleh Amirul Ulum dalam bukunya yang berjudul ‘’Musnid Dunia, Syaikh Yasin bin Isa al-Fadani’’suatu hari seorang pelajar bernama Zulkifli membaca majalah berita Nahdlatul Ulama didalam kelas yang ia dapatkan dari temannya yang baru datang dari Jawa, tiba-tiba saja datang wali kelas dan melihat Zulkifli sedang asyik membaca majalah tersebut, sepontan wali kelas marah, karena melihat santrinya membaca majalah yang tidak berbahasa Arab dan majalah tersebut diambil oleh wali kelas dan Zulkifli dilaporkan kepada kepala Madrasah as-Shaulatiyyah. Syaikh yang menjadi wali kelas Zulkifli semakin marah dan melampiaskan kemarahannya dengan merobek-robek dan melempar majalah tersebut dari lantai tiga sembari menghina bangsa Jawa dengan ucapan ‘’Bangsa Jawa (Indonesia), bangsa yang rendah budi pekertinya.
Pengajar/Syaikh dan pelajar yang nyantri di Madrasah as-Shaulatiyyah yang mendengar ucapan dan mendengar berita tersebut tidak terima harga diri dan bangsanya diejek-ejek bahkan sampai diinjak-injak, untuk merespon hinaan tersebut para masyayikh yang mengajar di Madrasah as-Shaulatiyyah, seperti Syaikh Muhsin al-Musawa, Syaikh Zubair al-Filfulani, Syaikh Husain bin Abdul Ghani al-Palimbani, Syaikh Manshur al-Jawi, dan Syaikh Muhaimin al-Lasemi dan ulama-ulama Jawi lainnya berkumpul dan musyawarah untuk menyelasaikan masalah tersebut. Musyawarah sangat menegangkan, dikarenakan banyak masyayikh yg tidak menerima harga diri dan bangsanya dihina. Hasil musyawarah memutuskan untuk mendirikan sebuah Madrasah sendiri. Setelah keputusan tersebut disepakati maka dimulailah mencari sumbangan dana dari para saudagar Jawa yang ada di Haramain dan diketuai oleh Syaikh Abdul Mannan.
Setelah biaya terkumpul maka dimulailah dirintis untuk mendirikan madrasah tersebut pada 22 Januari 1935 M/ 16 Syawal 1353 H dengan nama Dar Al-Ulum. Setelah dibangun, para masyayikh bermusyawarah untuk menunjuk siapa yang akan memimpin Madrasah Darul Ulum, setelah melakukan musyawarah, para masyayikh memberikan amanah kepada Syaikh Muhsin bin Ali al-Musawa sebagai mudir pertama. Syaikh Muhsin sempat menolak untuk menjadi mudir Madrasah Darul Ulum dikarenaka ia masih muda dan banyak masyayikh yang umurnya lebih tua dan memiliki ilmu yg luas daripadanya, tetapi para masyayikh tetap sepakat memilih Syaikh Muhsin tanpa melihat usianya yang masih muda. Semenjaknya berdirinya Madrasah Darul Ulum yang dibangun oleh ulama Nusantara banyak para penuntut ilmu dari berbagai dunia Islam untuk belajar di Madrasah Darul Ulum, terutama santri yang berasal dari Nusantara.
Terakhir Madrasah Darul Ulum, Makkah dipimpin oleh Syaikh Yasin bin Isa al-Fadani dan sekarang Madarasah Darul Ulum tidak pernah terdengar lagi namanya, tetapi memiliki andil yang besar dalam sejarah pendidikan Islam di Makkah. Dalam proses perjalanannya, Madrasah Darul Ulum banyak menelurkan dan melahirkan para Ulama seperti Sayyid Alawi bin Abdul Aziz, Syaikh Yasin bin Isa al-Fadani, KH. Abdul Hamid, DGH. Damanhuji Sumbawa, DGH. Mucktar Amin Sumbawa, DGH. Muhammad Masud Sumbawa dan lain-lain.
Sejarah Singkat 3 Pengajar Madrasah Darul Ulum dari Tana Samawa
Siapa sangkah di Makkah Al-Mukarramah, tepatnya di Madrasah Darul Ulum yang namanya harum dan terkenal di seantero negara Islam terdapat Syaikh atau pengajar yang berasal dari Sumbawa. Yakni DGH. Ahmad Pisak. DGH. Ahmad Pisak lahir di Desa Berare, Moyo Hilir, Sumbawa 30 Desember 1941 M. Papen Haji Ahmad adalah nama akrab dipanggil oleh masyarakat Berare. Ahmad Pisak tumbuh dilingkungan keluarga yang islami, sehingga ia diajarkan dasar-dasar agama Islam, seperti sholat dan membaca al-Quran. Dalam diri DGH. Ahmad Pisak memiliki semangat yang besar dalam mencari ilmu, terutama mempelajari dan mendalami ilmu agama Islam.
Setelah DGH. Ahmad Pisak menamatkan pendidikan Sekolah Dasar dan menginjak usia 11 Tahun, beliau hijrah ke Makkah al-Mukarramah untuk melanjutkan pendidikan. Di Makkah DGH. Ahmad Pisak belajar di Madrasah Darul Ulum, kemudian Sanawiyah di Madrasah Al-Falah Makkah, sedangkan Aliyah di Mahad Islamiyah Madinah. Setamatnya di Mahad Islamiyah Madinah kemudian DGH. Ahmad Pisak melanjutkan pendidikan Sarjana (S1) di almamater yang sama, Mahad Islamiyah Madinah.
Berbekal ilmu agama yang banyak dan luas yang beliau dapatkan di Madrasah Darul Ulum, Madrasah al-Falah dan Mahad Islamiyah Madinah, DGH. Ahmad Pisak melamar menjadi guru atau pengajar di Madrasah Darul Ulum, sekolah atau Madrasah tempat beliau belajar ketika pertama kali menginjakkan kaki di Makkah. Untuk menjadi guru di Madrasah yang sangat terkenal dan banyak melahirkan ulama, tentu harus memiliki bekal ilmu agama Islam yang cukup bahkan luas, karena di Madrasah Darul Ulum mengkaji berbagai ilmu agama, seperti ilmu Nahwu, Sharaf, Tajwid, Tafsir, Balagah, Hadist, Fiqh, Tauhid, Mantik dan lain-lain.
Karena memiliki ilmu yang luas, DGH. Ahmad Pisak diterima menjadi guru atau pengajar di Madrasah Darul Ulum dijenjang Tsanawiyah, beliau mengajar sejarah Islam, Fiqh, dan Bahasa Arab. Kiprah DGH. Ahmad Pisak mengajar di Madrasah Darul Ulum terbilang sangat lama, yakni selama 11 tahun dibawa kepemimpinan Syaikh Yasin bin Isa al-Fadani. Menurut Latifah Pisak, DGH. Ahmad Pisak adalah sosok ulama yang kutu buku, bahkan keseharian beliau disibukkan dengan mengajar, bekerja dan membaca, bahkan sebelum beliau mengajar, terlebih dahulu membaca berbagai kitab sebagai refrensi beliau mengajar dikelas, sehingga siswanya mendapat ilmu pengatahuan yang luas.
Sosok ulama lain yang menjadi pengajar di Darul Ulum adalah DGH. Damanhuji. Beliau lahir tahun 1921 di Sumbawa dari keluarga ulama, ayahnya bernama DGH. Muhammad Amin, menjabat sebagai qhadi di era Sultan Muhammad Jalaluddin III, sehingga DGH. Damanhuji dididik dan diajarkan agama Islam oleh ayahnya. Dalam diri DGH. Damanhuji mengalir darah ulama dan memiliki semangat yang tinggi dalam belajar, seperti DGH. Ahmad Pisak Berare.
DGH. Damanhuji tidak puas dengan ilmu yang ia dapatkan di bangku sekolah Dasar dan melanjutkan rihla ilmiahnya ke Makkah al-Mukarramah. Beliau pergi ke Makkah bersama dengan DGH. Muctar Amin Kakiang dan DGH. Muhammad Masud Empang. Setibanya di Makkah, DGH. Damanhuji melanjutkan pendidikan Tsanawiyah di Madrasah Darul Ulum bersama temannya. Kepala Madrsah Darul Ulum adalah Syaikh Yasin bin Isa al-Fadani dan madrasah tersebut mengajarkan berbagai bidang ilmu agama kepada santrinya, seperti ilmu Tasawuf, Fiqh, Nahwu, Sharaf, Tafsir, Hadist dan lain-lain.
DGH. Damanhuji dan DGH. Muctar Amin Kakiang adalah alumni Al-Azhar Kairo-Mesir, setelah tamat dari Al-Azhar, DGH. Damanhuji tidak langsung kembali ke Sumbawa, tetapi beliau kembali lagi ke Makkah. Di Makkah al-Mukarramah dengan berbekal ilmu yang ia pelajari di Madrasah Darul Ulum dan Universitas Al-Azhar Kairo, DGH. Damanhuji diberi amanah oleh kepala Madrasah Darul Ulum untuk mengajar di Madrasah Darul Ulum. Suatu hari ketika DGH. Damanhuji hendak mengajar bahasa Arab, tiba-tiba DGH. Damanhuji diejek bahkan diremehkan oleh santri Darul Ulum atau santrinya, karena yang mengajar bahasa Arab bukan orang Arab, melainkan orang Sumbawa. DGH. Damanhuji merespon ejekan tersebut dengan bijak, kemudian beliau memulai menjelaskan pelajaran bahasa Arab kepada siswanya termasuk kepada siswa yang mengejek beliau, mendengar penjelasan DGH. Damanhuji ketika mengajar bahasa Arab, siswa tersebut langsung terkagum dengan penjelasannya.
Sosok ketiga yang mengajar di Darul Ulum adalah DGH. Saleh Wake. Jejak pendidikan DGH. Saleh Wake sama dengan DGH. Damanhuji dan DGH. Ahmad Pisak, sama-sama menimba ilmu di Makkah al-Mukarramah. Menurut Prof. Azumardi Azra dalam bukunya berjudul ‘’Jaringan Ulama Timur Tengah & Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII’’ Haramain (Makkah dan Madinah) adalah pusat intlektual dunia islam, ulama, sufi, filsuf, penyair, pengusaha dan sejarahwanMuslim bertemu dan saling menukar informasi.
DGH. Saleh Wake pergi ke Makkah untuk memperdalam ilmu agama, seperti ulama-ulama lainnya yang berasal dari seantero dunia Islam. Beliau dengan semangat yang tinggi dan istiqomah mereguk ilmu para masyayikh atau gurunya dalam menuntut ilmu, penulis sendiri belum mendapat data di Madrasah mana DGH. Saleh Wake belajar atau siapa saja nama gurunya ketika belajar di Makkah. Keterangan tentang belajarnya DGH. Saleh Wake di Makkah diperkuat dengan hasil wawancara penulis dengan Sultan Muhammad Kaharuddin IV. Bahkan Sultan Sumbawa (PYM Muhammad Kaharuddin IV) adalah murid DGH. Saleh Wake.
Memiliki ilmu yang luas ketika belajar di Makkah, DGH. Saleh wake juga mengikuti jejak DGH. Ahmad Pisak dan DGH. Damanhuji Muhammad Amin menjadi syaikh atau pengajar di Madrasah Darul Ulum bersama dengan ulama lainya yang berasal dari Nusa Tenggara Barat, seperti KH. Hasanuddin M. Said Bima, KH. Umar Muhammad Sumbawa, KH. Ali Husain Bima, TGH. Khalid Ibrahim Ampenan, TGH. Wajdi Ibrahim, TGH. Sukarnawadi Ampenan dan lain-lain.
DGH. Saleh Wake adalah Dea Penghulu kesultanan Sumbawa di era Sultan Muhammad Kaharuddin III dan DGH. Saleh Wake adalah tokoh NU yang aktif mengikuti musyawarah alim ulama tingkat Nasional. Selain tokoh NU, beliau memiliki suara yang merdu dan indah ketika membaca Al-Qur’an, sebelum wafat beliau mengabdikan diri dan ilmunya untuk NU dan pernah menjadi Rais Syuriah Nusa Tenggara Barat.