BudayaPeristiwa

Museum sebagai Agen Perubahan dalam Merespon Isu Lokal dan Global

Forum internasional tentang museum dan heritage, Museum Forward, sejak hari pertama (24/09) menghadirkan beragam topik yang sangat menarik dan relevan dengan isu perubahan sosial untuk menyikapi tantangan global saat ini. Salah satu sesi panel yang menarik berjudul “Agent of Change: Museum in Response to Current Global Issues” yang menjadi sesi terakhir pada hari pertama forum ini. Menghadirkan empat pembicara yaitu Nusi Lisabilla Estudiantin (Kemendikbud Ristek RI, Jakarta), Ajeng Arainikasih (Museum Ceria, Jakarta), Catherine Ritman Smith (Museum Young V&A di London), dan Paz Guevara (Museum HKW, Berlin), serta dimoderatori oleh Riksa Afiaty dari Indonesian Visual Art Archives (IVAA), Yogyakarta.

Definisi yang dianut oleh museum masa kini sangat jauh berbeda dengan museum di masa lalu yang terkesan hanya sekedar menjadi ‘gudang’ artefak budaya atau benda antik. Mengutip definisi terbaru dari Museum yang dikeluarkan oleh International Council of Museum (ICOM) di Praha pada tahun 2022 museum adalah:

“Museum adalah lembaga permanen nirlaba yang melayani masyarakat yang meneliti, mengumpulkan, melestarikan, menafsirkan, dan memamerkan warisan berwujud dan tak berwujud. Terbuka untuk umum, mudah diakses, dan inklusif, museum menumbuhkan keberagaman dan keberlanjutan. Mereka beroperasi dan berkomunikasi secara etis, profesional dan dengan partisipasi masyarakat, menawarkan beragam pengalaman untuk pendidikan, kesenangan, refleksi dan berbagi pengetahuan.”

Di masa kini, museum dapat secara langsung terlibat dalam perubahan kebijakan, sosial, dan lingkungan. Isu-isu penting dalam perubahan sosial dan pembangunan berkelanjutan seperti isu kesetaraan perempuan, gender diskursus, perubahan iklim, inklusifivitas, dan keberagaman menjadi wacana yang integral dalam praktik museum dan heritage baik secara konseptual hingga level operasional.

Presentasi dari Nusi Lisabilla dan Ajeng Arainikasih menggambarkan bahwa cara pandang museum yang mulai mengadaptasi isu perubahan sosial dan global ini sudah dapat terlihat jejaknya di museum-museum yang ada di Indonesia saat ini. Misalnya Museum Aceh yang berada di kota Banda Aceh menunjukkan sosok perempuan yang selama ini terpinggirkan dalam sejarah Indonesia dengan menghadirkan narasi tentang Malahayati (1550-1615), Laksamana Perempuan Pertama di Nusantara bahkan di Dunia.

Selain itu, museum-museum di Indonesia saat ini juga mulai menawarkan narasi yang tidak beragam bahkan memperlihatkan cara pandang yang berbeda. Misalnya di Museum Multatuli, Lebak menghadirkan pameran tentang pemikiran kiri di Indonesia, yang ketika pada masa Orde Baru dianggap sebagai subversive dan menentang kemapanan. Kemudian, di Museum La Galigo, Makassar, narasi tentang sejarah lokal yang diangkat dari ingatan kolektif masyarakat mulai diangkat menjadi narasi museum seperti tentang penggambaran sosok Arung Palakka yang selama Orde Baru dianggap sebagai pengkhianat kini dinarasikan sebagai Raja Bugis yang membebaskan rakyatnya dari dominasi Makassar. Sehingga narasi sejarah lokal tidak semata-mata terbangun dari otoritas pemerintah yang mengurus tentang museum semata, namun dari memori kolektif masyarakat lokal. Keberagaman narasi yang ditawarkan museum di Indonesia saat ini menunjukkan bahwa perspektif maupun cara pandang yang digunakan dalam merespon sejarah masa lalu mulai bergerak dengan mengkritisi dan mengkontekstualisasikannya dengan masa kini.

Sedangkan presentasi dari Catherine Ritman Smith (Museum Young V&A di London) menyinggung tentang pentingnya museum memperkenalkan isu-isu perubahan iklim, inklusivitas, dan keberagaman pada generasi muda sejak ini. Museum dapat berperan melalui koleksi maupun program publik yang diselenggarakannya, sehingga dapat merangkul pengunjung usia dini hingga remaja untuk terlibat. Senada dengan Catherine, Paz Guevara (Museum HKW, Berlin) menyebutkan bahwa isu-isu solidaritas global juga perlu disikapi oleh museum misalnya isu tentang konflik dan migrasi, degradasi lingkungan, bahkan isu tentang memerangi ketidak adilan dan kemiskinan.

Benang merah yang coba disampaikan dalam panel ini adalah museum masa kini tidak lagi berkutat soal jumlah dan langkanya koleksi yang mereka punyai, namun terletak pada narasi apa yang ingin disampaikan terutama dalam merespon isu-isu global dan memasukkan perspektif lokal dalam kajian koleksinya.

*Tulisan kedua dari Yuli Andari Merdikaningtyas (Museum Bala Datu Ranga) yang diterbitkan atas kerjasama dengan Desk Budaya, Fokus NTB.

FokusNTB

Pengelola menerima semua informasi tentang Nusa Tenggara Barat. Teks, foto, video, opini atau apa saja yang bisa dibagi kepada warga. Untuk berkirim informasi silakan email ke fokusntb@gmail.com

Related Articles

Back to top button