Budaya

Bara di Elang Project: AMAN Laporkan PT AMNT ke Copper Mark, Protes Pengabaian Hak Adat dan Ancaman Masa Depan

Sumbawa, Fokus NTB — Kobaran api protes masyarakat adat Suku Berco di Sumbawa kini menyambar ke tingkat global. Tepat pada perayaan Hari Masyarakat Adat Sedunia, 9 Agustus 2025, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Daerah Sumbawa resmi menembus benteng Copper Mark, lembaga yang mengklaim diri sebagai penjaga standar keberlanjutan industri tembaga. Aduan mereka menunjuk satu nama: PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT), raksasa tambang yang dituding menginjak-injak hak-hak fundamental di balik ambisi Proyek Elang.

Definitive Feasibility Study (DFS), studi kelayakan akhir yang menjadi penentu hidup-mati sebuah investasi tambang, semestinya menjadi gerbang yang dijaga ketat oleh prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC)—persetujuan bebas, didahului informasi, dan tanpa paksaan. Namun, bagi Febriyan Anindita, Ketua AMAN Daerah Sumbawa, yang terjadi adalah sebaliknya. “Melanjutkan DFS tanpa FPIC adalah bentuk kolonialisme modern: keputusan diambil atas tanah kami tanpa suara kami,” kecam Febriyan. “Tanpa FPIC, DFS bukan studi kelayakan—melainkan studi perampasan.” Sebuah narasi tegas yang menelanjangi praktik yang dinilai menciderai kedaulatan adat.

Bukan sekadar gertakan. AMAN punya catatan kelam PT AMNT. Sejak 2018–2020, eksplorasi telah berjalan tanpa melibatkan sedikit pun masyarakat adat. Puncaknya, pada 2021, mesin-mesin proyek mulai merangsek hutan dan bahkan menyentuh situs pemakaman leluhur. Kendati warga telah berupaya membentengi dengan tanda-tanda adat, peringatan itu diabaikan. Fakta yang mencolok dan memukul telak adalah pengakuan AMNT sendiri dalam Laporan Keberlanjutan Perusahaan Tahun 2024, yang mengakui telah merelokasi makam tua. Pengakuan ini jelas-jelas menabrak kesepakatan mediasi Komnas HAM 2023 yang mewajibkan perlindungan situs budaya.

Integritas Copper Mark pun ikut dipertanyakan. Sertifikasi yang mereka berikan pada 2024 dinilai cacat etik. Bagaimana mungkin sebuah lembaga sertifikasi keberlanjutan meloloskan proyek tanpa memverifikasi pemenuhan FPIC, sebuah syarat krusial yang diamanatkan standar internasional seperti UNGP, UNDRIP, dan IFC Performance Standards? Ini bukan lagi soal kelalaian, melainkan celah yang membuka pintu pada praktik-praktik yang tak adil.

Perjuangan ini tidak sendiri. Jaringan advokasi global, termasuk AIPP, AIPNEE, IPRI, Accountability Counsel, dan SOMO Netherlands, turut bersuara lantang. Mereka menegaskan bahwa sebuah proyek tambang yang tak berlandaskan FPIC di tahapan DFS kehilangan bukan hanya dasar hukum, tetapi juga legitimasi moral dan sosialnya.

Di Sumbawa, peringatan Hari Masyarakat Adat Sedunia 2025 diterjemahkan menjadi aksi nyata: pengajuan pengaduan resmi, kampanye publik, dan pembukaan ruang dialog. Ini adalah penegasan bahwa hak untuk menentukan nasib sendiri bermula dari FPIC—dan FPIC itu harus ada sebelum DFS, bukan setelahnya. Bara di Elang Project telah menyala, menuntut keadilan bagi masyarakat adat dan masa depan yang tak tergadaikan.

Related Articles

Back to top button