Opini

Model Investasi Apa yang Dimuluskan Pemerintah?

Oleh: MASTO ARIANSYAH – Pengurus Sumbawa Green Action & Pemuda Sumbawa

Investasi kerap dipuji sebagai jalan keluar dari keterbatasan fiskal daerah. Di Sumbawa, jargon “mendatangkan investor” menjadi mantera yang terus diulang oleh pemerintah daerah. Namun pertanyaan mendasar jarang diajukan: model investasi apa sebenarnya yang dimuluskan pemerintah?

Jika kita menelisik praktik yang berlangsung, terlihat bahwa pemerintah lebih banyak mengakomodasi investasi berbasis ekstraksi sumber daya alam—mulai dari tambang hingga perkebunan skala besar. Izin usaha dipercepat, lahan disediakan, dan aparatur negara dijadikan instrumen untuk membuka jalan bagi korporasi. Ironisnya, pada saat yang sama, aspirasi masyarakat adat, petani, nelayan, dan komunitas lokal seringkali dipinggirkan dengan alasan “kepentingan pembangunan”.

Inilah wajah ganda investasi di Sumbawa: di satu sisi dijual sebagai motor pertumbuhan ekonomi, namun di sisi lain melahirkan konflik agraria, pencemaran lingkungan, dan marjinalisasi masyarakat lokal. Kasus-kasus sengketa tanah antara warga dengan perusahaan tambang, serta keterancaman ruang hidup masyarakat adat, adalah bukti nyata bahwa model investasi yang dimuluskan pemerintah masih bertumpu pada logika akumulasi kapital, bukan pada kesejahteraan rakyat.

Pemerintah daerah kerap membanggakan angka-angka investasi, namun jarang transparan soal siapa yang paling diuntungkan. Keuntungan besar mengalir ke kantong perusahaan dan segelintir elite politik, sementara masyarakat lokal hanya menerima remah berupa pekerjaan tidak tetap, kerusakan ekosistem, dan janji kesejahteraan yang terus ditunda.

Kritik tajam perlu diarahkan pada fungsi pemerintah sebagai regulator sekaligus pelindung rakyat. Alih-alih menjadi penjaga kepentingan publik, pemerintah justru lebih sering tampil sebagai broker yang mengatur lalu lintas modal. Pertanyaannya: di mana posisi masyarakat? Apakah rakyat hanya dijadikan penonton dalam drama pembangunan, atau malah dipaksa menyingkir dari tanah leluhur demi memberi jalan pada kepentingan korporasi?

Sudah saatnya arah investasi di Sumbawa ditata ulang. Investasi seharusnya tidak diukur dari seberapa besar modal masuk, melainkan dari seberapa besar manfaat yang langsung dirasakan masyarakat. Prinsip keberlanjutan, perlindungan tanah adat, partisipasi publik, serta akuntabilitas penuh harus menjadi fondasi. Tanpa itu, investasi hanya akan menjadi bentuk penjajahan baru—dengan bendera korporasi dan stempel restu pemerintah.

Karena itu, pertanyaan kunci yang harus terus digaungkan adalah: apakah pemerintah Sumbawa benar-benar melindungi rakyat, atau sekadar melindungi modal? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan arah sejarah daerah: apakah Sumbawa akan melompat menuju keadilan sosial, atau terjerat dalam kutukan sumber daya seperti banyak daerah lain di Indonesia.


Related Articles

Back to top button