
Sumbawa, Fokus NTB — Rekomendasi Komisi II DPRD Sumbawa atas operasional PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT) dan PT Sumbawa Juta Raya (SJR) menuai kritik tajam. Tokoh masyarakat sekaligus mantan anggota DPRD Sumbawa, Salamuddin Maula, menilai rekomendasi tersebut lebih banyak menempatkan DPRD dalam posisi lemah ketimbang sebagai wakil rakyat yang berdaulat.
“DPRD jangan sampai berubah fungsi jadi calo tambang. Wakil rakyat seharusnya memperjuangkan kedaulatan daerah, bukan sekadar menunggu remah PAD atau CSR,” kata Salamuddin saat dihubungi via telpon, Kamis (11/9).
Salamuddin menyoroti sikap kontradiktif dalam rekomendasi. Di satu sisi, DPRD menegaskan pentingnya persetujuan masyarakat sebelum proyek berjalan. Namun di sisi lain, DPRD justru mendorong percepatan konstruksi Blok Elang Dodo dan Rinti.
“Bagaimana mungkin mereka bicara persetujuan, tapi sekaligus mendorong percepatan eksploitasi? Itu abu-abu, dan sangat berbahaya. Hak rakyat bisa dikorbankan demi kepentingan korporasi,” ujarnya.
Menurutnya, rekomendasi tentang tenaga kerja lokal dan beasiswa memang patut diapresiasi, tapi tidak menyentuh akar persoalan. “Pekerjaan dan beasiswa itu baik, tetapi rakyat butuh lebih dari itu. Yang dibutuhkan adalah kepemilikan, bukan sekadar belas kasih perusahaan,” tegasnya.
Salamuddin menegaskan, rekomendasi yang hanya menekankan CSR tidak cukup. Ia menilai DPRD terjebak dalam logika meminta-minta bantuan, padahal regulasi nasional memberi ruang lebih jauh.
“Perpres 62/2023 dan UU Minerba 2025 jelas membuka jalan bagi daerah, BUMD, bahkan masyarakat adat untuk punya saham di tambang. Kenapa itu tidak disentuh DPRD? Kenapa yang diperjuangkan justru rumah singgah atau proyek CSR?” kritiknya.
Sebagai mantan anggota DPRD, Salamuddin mengingatkan bahwa lembaga legislatif punya mandat konstitusional untuk menjaga kedaulatan sumber daya. Ia menilai sikap abu-abu hanya akan memperlemah posisi tawar daerah terhadap perusahaan besar.
“Kalau DPRD benar-benar berpihak, mereka harus berani menuntut equity. Tanah Sumbawa ini bukan untuk dijual murah atau ditukar dengan janji pembangunan semu. Jangan biarkan rakyat jadi buruh di tanah sendiri,” ujarnya.
Bagi Salamuddin, persoalan tambang bukan sekadar soal teknis atau administrasi, melainkan soal kedaulatan daerah. “Kita punya tanggung jawab ke generasi mendatang. Kalau DPRD memilih diam atau abu-abu, maka sejarah akan mencatat mereka bukan sebagai wakil rakyat, melainkan sebagai calo tambang,” pungkasnya.