BeritaBudaya

Viral Dugaan Polisi Hajar Remaja, Dosen Hukum UTS: Protap Diabaikan

Sumbawa, Fokus NTB 29/08/2025 – Publik Sumbawa dikejutkan sebuah peristiwa pada Kamis malam, 28 Agustus 2025, ketika video dugaan pemukulan seorang remaja oleh oknum polisi beredar luas di media sosial. Kasus ini segera menjadi bahan perbincangan hangat, dari warung kopi, laman medsos hingga grup WhatsApp warga.

Versi Polres Sumbawa menyebut peristiwa itu berawal dari laporan seorang perempuan yang mengaku dilecehkan oleh remaja tersebut. Polisi lalu menjemput terduga pelaku. Namun, kabar pemukulan dibantah. Keluarga korban menceritakan hal sebaliknya: sang remaja justru dipukul, diseret, bahkan terluka hingga harus dirawat di rumah sakit.

Dua versi yang berseberangan ini memunculkan pertanyaan: siapa yang benar?

LP Dipertanyakan

Menurut Jasardi Gunawan, Dosen Hukum Universitas Teknologi Sumbawa, kasus ini harus diuji pertama-tama dari aspek formil hukum.

“Kalau benar ada laporan polisi (LP), seharusnya dituangkan secara tertulis dan menjadi dasar tindakan penyidik. Kalau hanya lisan, itu tidak memenuhi standar KUHAP,” ujarnya saat diminta memberi analisis, Jumat (29/8).

Jasardi menekankan, KUHAP Pasal 18 mengatur bahwa penangkapan hanya bisa dilakukan oleh penyidik atau penyidik pembantu, dengan surat perintah.

“Kecuali situasi tertangkap tangan, polisi tidak boleh asal membawa orang tanpa dasar LP yang sah,” tegasnya.

Sat Samapta, Bukan Penyidik

Masalah lain, kata Jasardi, adalah unit yang melakukan penangkapan. Berdasarkan informasi, remaja itu dijemput oleh anggota Sat Samapta, yang sesungguhnya bukan penyidik.

“Sat Samapta itu fungsinya preventif—pengaturan, patroli, penjagaan. Mereka tidak punya kewenangan penyidikan. Kalau mereka membawa orang dengan alasan laporan, itu sudah masuk ranah penangkapan, bukan sekadar pengamanan. Di sini terjadi kekeliruan mendasar,” papar Jasardi.

Ia menambahkan, dalam praktik kepolisian, istilah pengamanan sering dipakai untuk meredam kritik, padahal faktanya korban diperlakukan layaknya tersangka. “Kalau dibawa, ditahan, bahkan dipukul, itu bukan lagi pengamanan. Itu penangkapan tanpa prosedur,” katanya.

Bukti Forensik Jadi Kunci

Lebih jauh, Jasardi menyoroti pentingnya visum et repertum dan rekaman CCTV. Kedua hal ini menjadi bukti forensik yang dapat menjernihkan apakah benar ada penganiayaan.

“Kalau visum menunjukkan luka akibat kekerasan, dan CCTV mendukung, maka bantahan Polres akan runtuh. Kalau tidak, keluarga harus legawa. Jadi kuncinya di pembuktian objektif, bukan saling klaim,” jelasnya.

Krisis Kepercayaan Publik

Kasus ini, menurut Jasardi, telah memicu krisis kepercayaan masyarakat terhadap institusi kepolisian di Sumbawa.

“Masyarakat sekarang semakin kritis. Kalau protap diabaikan, publik akan menilai polisi abuse of power. Ini bukan sekadar kasus perorangan, tapi menyangkut legitimasi institusi,” katanya.

Ia mendorong agar Propam Polri segera turun tangan memeriksa prosedur, sekaligus memastikan ada transparansi dalam penanganan. “Kalau memang ada kesalahan anggota, harus ditindak. Kalau tidak, klarifikasi harus meyakinkan publik dengan bukti, bukan sekadar pernyataan,” ujar Jasardi.

Penegakan Protap

Dalam pandangannya, Jasardi menyebut setidaknya ada dua pelanggaran protap yang potensial terjadi:

1. Pelanggaran kewenangan – penangkapan dilakukan Sat Samapta, bukan penyidik.

2. Pelanggaran HAM – dugaan kekerasan fisik terhadap remaja.

Keduanya, kata Jasardi, bertentangan dengan Perkap No. 6 Tahun 2019 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, serta Perkapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip HAM.

“Polisi harus taat aturan yang mereka buat sendiri. Kalau tidak, hukum akan kehilangan wibawa di mata publik,” pungkasnya.

Related Articles

Back to top button