Hari Tani Nasional: Evaluasi Kritis terhadap Arah Kebijakan Pertanian

Hari Tani Nasional yang diperingati setiap 24 September seharusnya menjadi arena refleksi mendalam terhadap capaian, kegagalan, serta arah kebijakan pertanian Indonesia. Bukan sekadar perayaan simbolik, tetapi forum evaluasi menyeluruh untuk menakar apakah sektor pertanian telah bergerak menuju kedaulatan pangan dan kesejahteraan petani. Dengan 27,8 juta petani tercatat pada Sensus Pertanian 2023, sektor ini seharusnya menjadi prioritas pembangunan. Namun kenyataannya, problem struktural masih menjerat, sementara kebijakan yang berjalan seringkali bersifat reaktif, tidak berbasis data, dan minim keberlanjutan.
Struktur Agraria: Akar Kelemahan yang Belum Tersentuh
Dominasi petani gurem (lahan <0,5 hektare) mencapai lebih dari 50% total rumah tangga tani. Fragmentasi lahan membuat skala ekonomi mustahil tercapai, menghambat akses pembiayaan, dan memperlemah daya tawar di pasar. Alih-alih melakukan reformasi agraria yang substantif, kebijakan lebih banyak terjebak pada distribusi input seperti pupuk bersubsidi, yang pada praktiknya rentan bocor dan tidak menyentuh esensi permasalahan.
Kondisi ini kontras dengan Vietnam, di mana konsolidasi lahan dan penguatan koperasi memungkinkan petani kecil bergabung dalam skala produksi besar, sehingga daya tawar dan akses pasar meningkat. Indonesia masih tertinggal dalam aspek kelembagaan ini.
Produksi dan Konsumsi: Paradoks Pangan
Statistik Pertanian 2024 menunjukkan produksi padi mencapai lebih dari 54 juta ton gabah kering giling, namun pada saat bersamaan Indonesia masih mengimpor lebih dari 2 juta ton beras. Kedelai, sebagai bahan baku utama tempe dan tahu, lebih dari 80% dipenuhi impor, sementara bawang putih lebih dari 90% bergantung pada pasar luar negeri. Situasi ini menggambarkan lemahnya strategi diversifikasi pangan serta kegagalan meningkatkan kapasitas produksi lokal.
Kasus lonjakan harga beras 2025 adalah contoh nyata: cadangan nasional berlimpah, namun kualitas rendah dan distribusi tidak merata. Kebijakan yang hanya mengejar volume produksi terbukti gagal menjamin keterjangkauan dan mutu pangan. Bandingkan dengan Thailand, yang menjaga posisi sebagai eksportir beras premium dunia karena fokus pada kualitas dan branding, bukan sekadar kuantitas.
Evaluasi Kritis Kebijakan Pemerintah
- Manajemen stok pangan (Bulog & Bapanas): Penumpukan stok beras kualitas rendah menandakan mekanisme pengadaan yang rigid. Kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP) tidak adaptif terhadap variasi kualitas, sehingga menciptakan paradoks surplus di gudang tetapi kelangkaan di pasar.
- Perluasan lahan pertanian: Program membuka 3 juta hektare lahan baru menimbulkan pertanyaan serius. Tanpa kajian ekologis dan agronomis mendalam, kebijakan ini berisiko mengulang pola perusakan lingkungan dan konflik agraria yang pernah terjadi pada proyek food estate.
- Subsidi input: Fokus pada pupuk dan benih gagal mengatasi problem sistemik seperti pascapanen, rantai distribusi, dan infrastruktur logistik. Padahal, kehilangan hasil pascapanen mencapai 10–12% untuk padi dan bahkan lebih tinggi untuk hortikultura.
- Regenerasi petani: Retorika tentang petani milenial belum diikuti kebijakan konkret. Data BPS menunjukkan rata-rata usia petani mencapai 52 tahun, dan jumlah pemuda yang berminat bekerja di sektor pertanian menurun drastis. Minimnya akses modal, lahan, dan pasar membuat profesi petani tidak menarik.
Agenda Reformasi: Dari Simbolik ke Struktural
- Reformasi agraria substantif: Redistribusi lahan produktif dan perlindungan tanah pertanian berkelanjutan harus diprioritaskan, bukan hanya wacana.
- Transformasi subsidi: Alihkan subsidi dari input ke pembangunan irigasi, penyediaan varietas unggul adaptif iklim, dan mekanisasi tepat guna.
- Modernisasi rantai pascapanen: Investasi pada gudang pendingin, pengeringan, dan transportasi pangan untuk menekan kehilangan hasil dan meningkatkan mutu.
- Konsolidasi kelembagaan petani: Perkuat koperasi dan korporasi petani agar mereka memiliki skala produksi, akses kredit, dan posisi tawar dalam kontrak dengan industri.
- Kebijakan adaptif iklim: Varietas tahan cuaca ekstrem, diversifikasi sistem tanam, dan perluasan asuransi indeks cuaca sebagai perlindungan petani kecil.
- Transparansi data pangan: Integrasi sistem informasi produksi, distribusi, dan stok untuk mendukung kebijakan berbasis bukti, bukan sekadar asumsi politik.
Hari Tani Nasional: Momentum Evaluasi
Hari Tani Nasional adalah momen untuk menagih akuntabilitas pemerintah. Selama kebijakan masih berorientasi pada seremoni dan target jangka pendek, petani akan tetap terjebak dalam lingkaran kemiskinan struktural. Reformasi agraria, modernisasi pascapanen, serta kebijakan berbasis data adalah jalan keluar yang mendesak.
Menghormati petani bukan dengan slogan, tetapi dengan kebijakan yang berpihak secara nyata. Jika pemerintah gagal membaca realitas ini, Hari Tani Nasional akan terus menjadi ritual kosong. Tetapi jika dijadikan momentum transformasi, ia bisa menjadi tonggak lahirnya pertanian berdaulat yang menjamin kedaulatan pangan dan kesejahteraan petani sebagai fondasi bangsa.
Penulis: Nindy Elma Sanjaya, Ketua DPC GmnI Sumbawa.
Editor: Sulhamran