
Oleh: Jayanti Mandasari, M.M dan Serli Oktapiani, S.E., M.M., Dosen Program Studi Manajemen FEB Universitas Teknologi Sumbawa
UMKM dan Tantangan Hijau di Era Digital:
UMKM telah menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia dengan jumlah mencapai 64 juta unit usaha dan kontribusi lebih dari 60% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Namun di balik besarnya potensi tersebut, sebagian besar UMKM masih beroperasi pada level mikro dengan keterbatasan akses permodalan, teknologi, dan literasi keuangan. Tantangan baru yang kini dihadapi adalah bagaimana mereka beradaptasi dengan tuntutan keberlanjutan lingkungan (green economy) dan transformasi digital secara bersamaan.
Era ekonomi hijau menuntut pelaku UMKM untuk tidak hanya berpikir tentang keuntungan jangka pendek, tetapi juga bagaimana mengelola sumber daya secara berkelanjutan. Munculnya konsep Green Intellectual Capital (GIC) dan Green Competitive Advantage (GCA) menjadi jawaban atas tantangan tersebut.
Dua konsep ini menekankan pentingnya modal pengetahuan hijau, inovasi produk ramah lingkungan, serta efisiensi operasional berbasis nilai ekologis. Namun, banyak penelitian menunjukkan bahwa implementasi konsep hijau belum secara otomatis meningkatkan kinerja finansial UMKM. Di sinilah literasi keuangan memainkan peran vital sebagai jembatan antara ide hijau dan hasil ekonomi nyata.
Literasi Keuangan sebagai Penggerak Daya Saing:
Literasi keuangan tidak hanya berarti kemampuan menghitung laba atau mengelola arus kas, tetapi juga pemahaman strategis tentang bagaimana keputusan finansial berhubungan dengan keberlanjutan bisnis. Dalam konteks ini, literasi keuangan menjadi faktor moderasi yang menghubungkan antara pengetahuan hijau (GIC) dan keunggulan kompetitif hijau (GCA) dengan kinerja keuangan UMKM.
Penelitian terbaru di Kabupaten Sumbawa menunjukkan bahwa literasi keuangan memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap kinerja keuangan UMKM. Nilai t-statistics sebesar 26,951 dan p-value 0,000 menandakan hubungan yang kuat antara kemampuan keuangan dan profitabilitas usaha. Artinya, semakin tinggi tingkat literasi keuangan pelaku UMKM, semakin besar pula kemampuan mereka mengonversi strategi hijau menjadi keuntungan yang nyata.
Dalam praktiknya, pelaku UMKM dengan literasi keuangan yang baik mampu:
- Merencanakan investasi lingkungan seperti pengelolaan limbah atau penggunaan bahan ramah lingkungan
- Mengatur arus kas untuk biaya inovasi produk hijau
- Mengidentifikasi risiko finansial dan menghindari jebakan utang
- Mengoptimalkan keuntungan melalui diversifikasi usaha hijau dan tabungan produktif.
Dengan kata lain, literasi keuangan berperan sebagai “pengungkit” yang memungkinkan inovasi hijau diterjemahkan ke dalam bahasa bisnis yang lebih konkret: laba, efisiensi, dan pertumbuhan.
Modal Intelektual Hijau, Aset Tak Berwujud yang Menguntungkan:
Konsep Green Intellectual Capital (GIC) menyoroti pentingnya aset tak berwujud dalam membangun daya saing berkelanjutan. GIC mencakup tiga elemen utama: Green Human Capital (pengetahuan dan keahlian hijau karyawan), Green Structural Capital (sistem dan budaya organisasi ramah lingkungan), serta Green Relational Capital (hubungan eksternal berbasis nilai hijau).
Penelitian di Sumbawa membuktikan bahwa GIC berpengaruh signifikan terhadap kinerja keuangan dengan koefisien 0,242 dan t-statistic 4,779. Artinya, semakin baik kemampuan UMKM dalam mengelola sumber daya manusia, sistem, dan relasi yang berorientasi pada keberlanjutan, semakin tinggi pula kinerja finansial yang dihasilkan.
Namun, pengaruh GIC tidak akan maksimal tanpa literasi keuangan. Pengetahuan hijau memang menciptakan kesadaran lingkungan, tetapi tanpa kemampuan mengukur, mencatat, dan menilai dampak ekonominya, potensi GIC akan berhenti pada idealisme. Literasi keuangan membantu UMKM mengubah ide ramah lingkungan menjadi strategi bisnis yang menghasilkan nilai ekonomi — misalnya dengan menghitung return on investment (ROI) dari teknologi hemat energi atau peralatan daur ulang.
Keunggulan Kompetitif Hijau dan Tantangan Implementasi:
Sementara itu, Green Competitive Advantage (GCA) adalah kemampuan perusahaan menciptakan nilai lebih melalui praktik ramah lingkungan. GCA dibangun dari tiga pilar utama: diferensiasi hijau, kepemimpinan biaya rendah, dan fokus pasar hijau. Pelaku UMKM yang mampu memadukan efisiensi energi, inovasi hijau, dan komunikasi nilai ekologis kepada konsumen memiliki peluang besar untuk unggul di pasar yang semakin sadar lingkungan.
Hasil penelitian menunjukkan GCA berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan dengan nilai koefisien 0,342 dan p-value 0,000. Namun, efeknya semakin kuat bila dimediasi oleh literasi keuangan. UMKM dengan pengetahuan finansial yang baik dapat menghitung biaya tambahan dari praktik hijau (seperti bahan kemasan ramah lingkungan) sekaligus menyesuaikan strategi harga agar tetap kompetitif.
Sebagai contoh, pelaku usaha kuliner di Sumbawa yang beralih ke kemasan biodegradable mampu menjaga margin keuntungan karena mereka merencanakan anggaran secara matang dan memasarkan nilai tambah produk secara efektif. Begitu pula pengrajin tenun tradisional yang berinvestasi pada pewarna alami dapat memanfaatkan literasi keuangan untuk menilai pengembalian investasi dan menetapkan harga yang wajar di pasar pariwisata.
Transformasi Digital sebagai Katalis Inovasi Hijau:
Menariknya, hasil riset juga menegaskan bahwa transformasi digital memainkan peran sinergis dalam memperkuat hubungan antara GIC, GCA, dan literasi keuangan. Penggunaan media sosial, e-commerce, dan sistem pembayaran digital (seperti QRIS dan dompet digital) mempercepat proses pencatatan transaksi, mempermudah pengelolaan kas, serta membuka pasar baru bagi produk hijau.
Lebih dari 80% UMKM di Sumbawa kini mengandalkan media sosial sebagai kanal pemasaran utama. Ini menunjukkan bahwa pengetahuan digital menjadi bagian dari Green Structural Capital, di mana informasi dan teknologi menjadi infrastruktur penting untuk inovasi berkelanjutan.
Namun, perlu diingat bahwa digitalisasi tanpa literasi keuangan tetap berisiko. Banyak pelaku usaha yang mampu memasarkan produk secara daring, tetapi gagal menjaga likuiditas karena lemahnya pengelolaan arus kas. Oleh karena itu, literasi keuangan digital menjadi dimensi baru yang perlu dikembangkan dalam ekosistem UMKM masa depan — menggabungkan kemampuan analisis finansial dengan kecakapan teknologi.
Pembelajaran dari UMKM Sumbawa:
Ekologi, ekonomi, dan kearifan lokal konteks Sumbawa memberikan pelajaran penting bahwa keberlanjutan tidak hanya soal teknologi, tetapi juga nilai dan budaya. UMKM di daerah ini tumbuh di atas kekayaan sumber daya alam — pertanian, peternakan, perikanan, dan kerajinan — yang erat kaitannya dengan kearifan lokal. Praktik ramah lingkungan seperti pengelolaan limbah ternak, pemanfaatan bahan alami, atau pengurangan plastik sekali pakai menjadi bagian dari tradisi, bukan sekadar tren.
Namun, keterbatasan infrastruktur dan akses pasar masih menjadi tantangan utama. Di sinilah pentingnya dukungan kebijakan publik dan peran perguruan tinggi dalam mendampingi UMKM. Universitas Teknologi Sumbawa (UTS), misalnya, melalui berbagai program riset dan pengabdian telah mendorong implementasi GIC dan literasi keuangan melalui pelatihan, pendampingan digital, serta kemitraan antara akademisi dan pelaku usaha.
Pendekatan ini tidak hanya meningkatkan kapasitas individu, tetapi juga memperkuat ekosistem bisnis hijau lokal. Sinergi antara pemerintah daerah, lembaga keuangan, dan dunia akademik menjadi model kolaborasi yang dapat direplikasi di daerah lain di Indonesia.
Implikasi Strategis bagi Pemerintah dan Dunia Usaha:
Hasil penelitian di Sumbawa memberikan beberapa pelajaran penting bagi pembuat kebijakan dan pemangku kepentingan:
- Integrasi kebijakan hijau dan finansial. Pemerintah perlu mengarahkan program pembiayaan dan pelatihan UMKM agar tidak hanya fokus pada permodalan, tetapi juga peningkatan literasi keuangan hijau.
- Kurikulum pelatihan berbasis digital dan keberlanjutan. Pelatihan literasi keuangan harus mencakup pengelolaan investasi hijau, analisis biaya-manfaat, serta pencatatan digital.
- Kolaborasi lintas sektor. Sinergi antara kampus, dunia usaha, dan komunitas lokal perlu diperkuat agar praktik hijau menjadi budaya ekonomi, bukan sekadar proyek temporer.
- Insentif bagi UMKM hijau. Pemerintah daerah dapat memberi penghargaan atau insentif pajak bagi UMKM yang berhasil menerapkan strategi ramah lingkungan dan memiliki laporan keuangan transparan. Kebijakan semacam ini akan mempercepat transisi ekonomi hijau yang inklusif, memastikan keberlanjutan tidak hanya dinikmati oleh korporasi besar tetapi juga oleh pelaku usaha kecil yang menjadi tulang punggung ekonomi daerah.
Menatap Masa Depan, Literasi Keuangan sebagai Pilar Keberlanjutan Ke depan:
literasi keuangan akan menjadi fondasi utama bagi transformasi UMKM menuju ekonomi hijau dan digital. Dalam dunia yang semakin berorientasi pada keberlanjutan, pelaku usaha yang tidak mampu memahami implikasi finansial dari setiap keputusan bisnis akan tertinggal.
Namun, literasi keuangan tidak dapat berdiri sendiri. Ia harus diintegrasikan dengan inovasi, teknologi, dan kesadaran lingkungan. UMKM yang cerdas bukan hanya yang mampu menghitung untung-rugi, tetapi juga yang mampu menilai return on environment — bagaimana keputusan bisnis mereka berdampak terhadap planet dan masyarakat.
Oleh karena itu, investasi pada peningkatan literasi keuangan harus dipandang sebagai investasi strategis bangsa. Perguruan tinggi, lembaga keuangan, dan pemerintah perlu bersatu dalam gerakan nasional literasi keuangan hijau untuk memastikan bahwa setiap rupiah yang beredar di sektor UMKM berkontribusi pada keberlanjutan ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Penelitian “Peran Moderasi Literasi Keuangan dalam Hubungan Modal Intelektual Hijau, Keunggulan Kompetitif Hijau, dan Kinerja Keuangan UMKM” memberikan pesan kuat bahwa literasi keuangan bukan sekadar keterampilan, tetapi kekuatan transformatif. Ia menjembatani antara idealisme hijau dan realitas ekonomi, antara inovasi dan profitabilitas, antara lokalitas dan globalitas.
Dari Sumbawa, kita belajar bahwa keberlanjutan bukan hanya tentang menjaga alam, tetapi juga tentang membangun peradaban ekonomi yang cerdas, beretika, dan berdaya saing. Ketika literasi keuangan tumbuh seiring kesadaran hijau dan inovasi digital, maka UMKM Indonesia tidak hanya akan bertahan — tetapi akan memimpin masa depan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Akhirnya, kami menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya kepada Kementerian Pendidikan Tinggi Sains dan Teknologi (Kemdiktisaintek) atas dukungan pendanaan melalui Hibah Penelitian Dosen Pemula (PDP) Tahun 2025. dan Universitas Teknologi Sumbawa No. Kontrak 129/C3/DT.05.00/PL/2025, 28 MEI 2025; 2166/LL8/AL.04/2025, 5 Juni 2025