Serbaneka

Adat Tak Tunggal, Pengakuan Tak Boleh Dibungkam

Oleh: Rahmat Hidayat (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia-Yogyakarta)

Hukum adat itu tidak seragam. Negara tidak boleh memaksakan satu wajah budaya untuk menutupi keragaman sejarah komunitas di Nusantara.


Di tengah geliat pengakuan terhadap masyarakat hukum adat di Indonesia, praktik eksklusi justru terus terjadi secara sistematis di lapangan. Di Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, masyarakat adat Cek Bocek atau yang menyebut dirinya Selesek Reen Sury (Suku Berco) menghadapi jalan terjal untuk diakui. Bukan karena mereka tidak punya wilayah adat, bukan karena mereka tidak memiliki kelembagaan, tetapi karena mereka bukan bagian dari Lembaga Adat Tana Samawa (LATS) atau Kesultanan Sumbawa.

Inilah paradoks pengakuan hukum adat di era otonomi daerah. Di satu sisi, konstitusi telah mengamanatkan penghormatan atas hak-hak masyarakat adat. Di sisi lain, struktur birokrasi lokal dan elit adat formal sering justru menjadi hambatan dalam implementasi pengakuan itu.


Konstitusi: Titik Awal Pengakuan Adat

Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 jelas menyatakan:

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, sepanjang masih hidup…”

Pengakuan ini tidak bersyarat pada lembaga adat formal atau struktur yang dibentuk belakangan. Yang penting adalah komunitas tersebut masih eksis, memiliki sistem sosial-budaya sendiri, dan diakui oleh masyarakatnya. Dalam hal ini, masyarakat adat Cek Bocek sudah memenuhi semua syarat itu:

Mereka memiliki wilayah adat yang dijaga secara turun-temurun,

Mereka memiliki struktur kelembagaan adat sendiri seperti Parenta Ne’ Adat,

Mereka melestarikan sistem pengetahuan dan hukum adat lokal,

Mereka telah mengukuhkan eksistensinya secara formal melalui Perdes Lawin No. 1 Tahun 2020.


Yurisprudensi MK: Negara Tidak Boleh Menyeragamkan Adat

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 menyatakan bahwa hutan adat bukan bagian dari hutan negara, tetapi hutan yang melekat pada eksistensi masyarakat hukum adat. MK juga menekankan bahwa:

“Negara tidak berhak membentuk, membubarkan, atau menentukan bentuk organisasi masyarakat hukum adat; yang berhak adalah komunitas itu sendiri.”

Artinya, LATS bukan satu-satunya tolok ukur keabsahan adat. Bahkan, jika negara (melalui pemerintah daerah) memaksakan hanya satu representasi adat yang diakui secara hukum, itu bertentangan langsung dengan asas pluralisme hukum dan hak asasi kolektif masyarakat adat.


Hukum Nasional dan Daerah: Bukti Kewajiban Negara untuk Melindungi

Lebih lanjut, hak masyarakat adat diperkuat melalui sejumlah regulasi nasional:

UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, Pasal 6 ayat (1):

“Identitas budaya dan hak masyarakat hukum adat wajib dilindungi oleh negara, hukum, dan pemerintah.”

UU No. 32 Tahun 2009 tentang PPLH, Pasal 63:

Pemerintah daerah wajib melindungi masyarakat hukum adat dalam konteks lingkungan hidup.

Perda Provinsi NTB No. 11 Tahun 2021 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat menyebut dengan jelas empat unsur pengakuan adat: wilayah, hukum adat, kelembagaan adat, dan keberlanjutan hidup adat.
Tidak ada satu pun pasal dalam Perda ini yang menyaratkan bahwa masyarakat adat harus berada di bawah struktur LATS atau Kesultanan.


Perdes Lawin: Manifestasi Pengakuan dari Akar Rumput

Perdes Lawin No. 1 Tahun 2020 adalah bentuk legal dari pengakuan otentik di tingkat desa terhadap eksistensi masyarakat adat Cek Bocek/Selesek Reen Sury. Di dalamnya tertuang:

Nama dan struktur kelembagaan adat,

Wilayah adat yang berbatasan jelas,

Norma dan nilai adat yang dijalankan secara hidup,

Mekanisme pelestarian lingkungan dan spiritualitas leluhur.

Perdes ini bukan hanya dokumen administratif. Ia adalah dokumen politik dan budaya yang menunjukkan bahwa negara hadir melalui jalur desa untuk meneguhkan identitas adat yang hidup, bukan adat simbolik yang dideklarasikan elite.

Masalahnya: Negara Diam, Oligarki Adat Bergerak

Alih-alih menjalankan mandat konstitusi dan Perda, Pemerintah Kabupaten Sumbawa justru tunduk pada logika oligarki budaya. LATS dan Kesultanan Sumbawa digunakan sebagai rujukan tunggal dalam mendefinisikan siapa yang berhak disebut adat. Praktik ini menjadikan pengakuan sebagai instrumen seleksi, bukan perlindungan. Dan lebih jauh, alat politik dan ekonomi, terutama di wilayah yang beririsan dengan tambang dan sumber daya alam lainnya.


Kesimpulan: Hentikan Standarisasi Adat, Lakukan Pengakuan Plural

Negara, melalui pemerintah daerah, wajib:

Mengakui dan menghormati keberadaan masyarakat adat Cek Bocek/Selesek Reen Sury, berdasarkan Perdes Lawin dan Perda Provinsi NTB No. 11/2021.

Menolak monopoli representasi adat oleh satu lembaga (LATS) karena bertentangan dengan konstitusi dan yurisprudensi MK.

Menyusun kebijakan afirmatif bagi komunitas adat yang secara historis dan hukum sudah memenuhi kriteria pengakuan.

Jika negara terus tunduk pada satu wajah budaya, maka hukum adat akan menjadi alat penindasan. Dan jika pengakuan hanya diberikan pada yang dekat dengan kekuasaan, maka keadilan hanya akan menjadi jargon, bukan kenyataan.

Related Articles

Back to top button