Hukum Kriminal

5000 Makam Leluhur Cek Bocek, Bukti Konkret Tuntutan

Oleh: Rahmat Hidayat – Akademisi UII dan Pemuda Sumbawa

Ada frasa yang layak kita renungkan bersama: “Makam tidak pernah berbohong.”

Ribuan pusara leluhur masyarakat adat Cek Bocek di Lawin, Kecamatan Ropang, Kabupaten Sumbawa, berdiri kokoh sebagai saksi yang tak terbantahkan. Lebih dari 5000 makam tersebar di wilayah adat mereka, termasuk di Gunung Dodo Rinti yang kini masuk dalam konsesi tambang. Makam-makam itu bukan sekadar tumpukan tanah, melainkan bukti otentik kesinambungan sejarah yang jauh lebih kuat daripada dokumen birokratis yang lahir di meja administrasi.

Sejarah Lisan dan Arsip Kolonial

Sejarah lisan masyarakat Cek Bocek menuturkan keberadaan komunitas ini jauh sebelum negara Indonesia lahir. Dalam catatan Belanda, wilayah Ropang dikenal sebagai salah satu kantong masyarakat tradisional yang hidup dari perladangan berpindah, pengelolaan hutan, serta adat istiadat yang mengikat mereka dengan tanah. Tradisi ini berlanjut lintas generasi, ditandai dengan ritual adat di tempat-tempat keramat dan pemakaman leluhur.

Arsip kolonial juga mempertegas keberadaan itu. Regeerings-Almanak voor Nederlandsch-Indië (1893–1910) mencatat distrik Ropang sebagai wilayah administratif yang dihuni oleh komunitas lokal dengan sistem kepemimpinan adat. Laporan etnografi kolonial Belanda yang tersimpan di KITLV Leiden, termasuk catatan H. Zollinger (1850-an), menyebut adanya kantong-kantong masyarakat adat di pedalaman Sumbawa yang hidup dengan ikatan tanah dan kuburan leluhur. Arsip Residen Bali & Lombok (1900–1930) bahkan menuliskan Ropang sebagai daerah dengan “penduduk asli yang menjaga adat dan kuburan leluhur.”

Catatan-catatan ini, termasuk Verslag van het Binnenlands Bestuur (1905–1920), menyingkap perlawanan masyarakat di pedalaman Sumbawa terhadap pajak tanah kolonial, di mana salah satu alasannya adalah perlindungan atas tanah adat dan makam leluhur. Fakta ini memperkuat bahwa klaim eksistensi Cek Bocek bukanlah konstruksi baru, melainkan bagian dari jejak sejarah yang terdokumentasi.

Logika Berpikir yang Perlu Dipertajam

Jika ada klaim yang menyebut masyarakat Cek Bocek baru muncul saat tambang dibuka, logika ini jelas rapuh. Sebab, tambang baru hadir beberapa dekade terakhir, sedangkan ribuan pusara telah ada selama ratusan tahun. Pertanyaan mendasarnya: bagaimana mungkin makam yang berusia ratusan tahun muncul lebih belakangan daripada tambang?Inilah letak kebenaran yang harus dipertajam: keberadaan makam adalah bukti hidup bahwa Cek Bocek bukan “masyarakat baru,” melainkan masyarakat adat dengan akar sejarah yang dalam.

Hukum dan Keadilan

Kerangka hukum nasional maupun internasional justru menguatkan posisi masyarakat adat. Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 menegaskan bahwa hutan adat bukan lagi milik negara, melainkan milik masyarakat adat. Sementara Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP) memberikan perlindungan atas ruang hidup, budaya, dan situs keramat mereka. Dalam konteks ini, ribuan makam bukan hanya warisan budaya, melainkan entitas hukum yang wajib dihormati.

Menolak Lupa

Masyarakat Cek Bocek menolak narasi pelupaan. Mereka tidak sekadar menuntut hak atas tanah, tetapi juga menuntut penghormatan atas warisan leluhur. Sebab bagi mereka, tanah yang dipijak bukan hanya ruang hidup, melainkan juga ruang mati. Mengabaikan 5000 makam sama artinya dengan menghapus keberadaan satu bangsa kecil yang sudah ada jauh sebelum izin tambang diterbitkan.

Makam tidak pernah berbohong.

Ia adalah arsip paling jujur tentang sejarah manusia. Dan 5000 makam leluhur Cek Bocek adalah bukti konkret yang mengunci kebenaran tuntutan mereka

NTB

surel: fokusntb@gmail.com

Related Articles

Back to top button