
Sumbawa, Fokus NTB – Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Daerah (AMANDA) Sumbawa, Febriyan Anindita, menegaskan bahwa masyarakat adat di Sumbawa bukan hanya Cek Bocek Selesek Reen Sury Suku Berco, tetapi ada delapan komunitas adat yang telah diverifikasi organisasi. Namun, hingga kini pengakuan formal terhadap keberadaan mereka masih terkendala pada ranah politik.
“Bukti akademis sudah jelas. Penelitian dari berbagai kampus besar menyatakan masyarakat adat di Sumbawa ada, termasuk Cek Bocek. Tapi pengakuan formal melalui perda tergantung kemauan politik pemerintah daerah dan DPRD,” kata Febriyan di Sumbawa, Jum’at (3/10).
Menurutnya, semua komunitas adat itu memiliki identitas kultural yang nyata: bahasa, adat istiadat, silsilah keturunan, hingga sistem mata pencaharian khas.
“Mereka tetap eksis meski mengikuti perkembangan zaman. Jadi masyarakat adat tidak bisa hanya dipahami dengan gambaran primitif seperti Papua dengan koteka atau Baduy dengan kesederhanaannya. Masyarakat adat di Sumbawa juga bisa maju, berpendidikan, bahkan menguasai teknologi, sambil tetap menjaga adatnya,” ujarnya.
Landasan Hukum Sudah Ada
Febriyan menjelaskan, bahwa dasar hukum pengakuan masyarakat adat sudah tersedia. Permendagri Nomor 52 Tahun 2014 dengan tegas memberi pedoman bagi pemerintah daerah untuk melakukan identifikasi, verifikasi, dan penetapan masyarakat hukum adat di wilayahnya. Mekanismenya jelas: pembentukan tim verifikasi, pengumpulan data, hingga pengesahan melalui peraturan daerah.
Tak hanya itu, di tingkat provinsi NTB sudah hadir Perda Nomor 11 Tahun 2021 tentang Pengakuan, Penghormatan, dan Perlindungan terhadap Kesatuan-Kesatuan Masyarakat Hukum Adat. Perda ini mengatur kriteria, mekanisme pengakuan, hingga perlindungan hak masyarakat adat atas wilayah dan sumber daya alam mereka.
“Perda provinsi sudah ada. Tinggal bagaimana kabupaten menurunkannya dalam perda lokal. Jadi hambatannya bukan regulasi, melainkan sepenuhnya political will pemerintah daerah,” tegas Febriyan.
Akademik vs Politik
Ia mengingatkan, sejak lama riset Prof. Salim dari Universitas Mataram telah merekomendasikan perlunya perda pengakuan masyarakat adat di Sumbawa. Namun rekomendasi berbasis penelitian itu justru tidak ditindaklanjuti, sementara opini tanpa riset lebih sering dijadikan rujukan DPRD.
“Ini ironis. Debat soal masyarakat adat seharusnya berbasis data, bukan persepsi. Kalau ada pihak yang meragukan, mereka harus hadir dengan riset pembanding, bukan sekadar opini,” kata Febriyan.
Menurutnya, inilah alasan mengapa pengakuan masyarakat adat di Sumbawa kerap jalan di tempat.
“Akademisi bisa menghadirkan data, masyarakat adat bisa menunjukkan bukti kultural, regulasi sudah tersedia. Yang tersisa hanya kemauan politik. Itu kunci,” ujarnya.
Peran Desa dalam Pengakuan
Febriyan menambahkan, di tengah lambatnya gerak pemerintah kabupaten, beberapa desa di Sumbawa sudah mengambil langkah maju dengan menerbitkan Peraturan Desa (Perdes) tentang pengakuan masyarakat adat.
“Perdes ini menjadi bukti bahwa pemerintah desa dan masyarakat adat bisa berjalan bersama dalam menata kehidupan. Di level paling bawah, pengakuan itu sudah nyata, tinggal bagaimana pemerintah daerah memberi legitimasi lebih kuat melalui perda kabupaten,” jelasnya.
Ia menyebut inisiatif desa ini membuktikan bahwa pengakuan bukan hal mustahil, hanya soal keberanian politik.
“Kalau desa saja bisa mengakui, mestinya kabupaten dan provinsi juga bisa. Tinggal kemauan politiknya saja,” kata Febriyan.
Aturan untuk Masyarakat, Bukan Dilupakan Febriyan menegaskan, semua aturan hukum, baik permendagri maupun perda, sejatinya dibuat agar bermanfaat untuk masyarakat.
“Kalau aturan hukum sudah ada, kenapa tidak dilaksanakan? Aturan itu hadir bukan untuk menghias rak, tapi untuk memberi keadilan,” ucapnya.
Ia menambahkan, masyarakat adat tidak pernah menolak pembangunan. Bahkan jika ada kepentingan pihak luar di atas tanah adat, baik perusahaan maupun pihak lain, mekanisme adat selalu membuka ruang musyawarah.
“Masyarakat adat tidak anti pembangunan. Yang mereka minta hanya sederhana: hak mereka dihormati, dihargai. Mereka tidak minta lebih atas hak mereka, dan jangan dikurangi jika hak itu memang ada. Itu saja,” katanya.
Menunggu Keberanian Politik Ketua AMANDA itu menegaskan, masyarakat adat di Sumbawa bukan menuntut sesuatu yang baru, melainkan hak dasar yang sudah dijamin konstitusi dan diperkuat regulasi.
“Pengakuan bukan soal belas kasihan, tapi kewajiban negara. Kalau daerah berani menindaklanjuti perda provinsi, maka masyarakat adat tidak hanya diakui secara sosial, tapi juga dilindungi secara hukum,” katanya.
Ia mengingatkan, tanpa pengakuan formal, masyarakat adat akan terus berada di posisi rentan.
“Kalau hanya mengandalkan wacana, cepat atau lambat masyarakat adat akan tersingkir dari tanahnya sendiri. Itulah yang kami lawan,” pungkasnya.