BudayaEdukasi

Tidalektika : Filsafat Gelombang dalam Membaca Sejarah

Oleh : Poetra Adi Soerjo

Setiap karya lahir dari pergulatan, dan buku ini tidak terkecuali. Saya, menulis buku ini sebagai hasil dari perjalanan panjang membaca sejarah Indonesia, berdialog dengan filsafat dunia, dan mengamati denyut sosial yang tak pernah berhenti berubah. Sejak lama, saya merasakan kegelisahan: mengapa teori-teori besar yang lahir di Eropa seperti dialektika Hegelian, materialisme historis Marxian, maupun teori modernisasi, selalu menjadi lensa utama dalam membaca masyarakat kita? Dan mengapa, ketika kita mencoba memaksakan lensa itu, pengalaman sejarah Indonesia seringkali tampak “menyimpang”, “tertinggal”, atau “belum matang”? Apakah benar kesalahan ada pada sejarah kita, atau justru pada kerangka yang memaksakan diri membaca sejarah dengan bahasa yang tidak sesuai?

Pertanyaan-pertanyaan itu membawa saya pada sebuah kesadaran: Indonesia memerlukan bahasa filsafatnya sendiri untuk membaca dirinya. Kita adalah bangsa kepulauan, bangsa laut. Sejarah kita bukan sejarah garis lurus, melainkan sejarah gelombang. Sriwijaya, Majapahit, Ternate, Tidore, Bugis, Makassar, hingga Sumbawa, semuanya pernah mengalami kejayaan, lalu surut, dan kembali dengan bentuk lain. Demokrasi kita pun berdenyut pasang-surut, kapitalisme terus melakukan reorganisasi, identitas nasional kita terus berubah dan cair. Pola ini lebih menyerupai gelombang laut daripada garis jalan darat.

Dari sinilah lahir gagasan tidalektika: sebuah filsafat sejarah baru yang berpikir dengan bahasa laut. Jika dialektika klasik berbicara tentang tesis, antitesis, dan sintesis, maka tidalektika berbicara tentang pasang, surut, dan arus balik. Jika materialisme historis percaya pada garis linear menuju masyarakat tanpa kelas, maka tidalektika mengakui bahwa tak ada finalitas sejarah melainkan hanya ritme gelombang yang terus berulang. Tidalektika adalah koreksi atas pandangan darat-sentris, sekaligus tawaran filsafat yang lebih sesuai untuk membaca masyarakat kepulauan.

Buku ini saya tulis karena saya percaya kita memerlukan cara pandang baru, bukan hanya untuk Indonesia, tetapi juga untuk dunia. Abad ke-21 adalah abad air. Perubahan iklim dan naiknya permukaan laut mengubah wajah bumi. Migrasi global menembus batas-batas negara. Arus digital mengalir lebih cepat daripada kereta api atau mesin uap abad ke-19. Globalisasi membuat dunia semakin cair, semakin oseanik. Dalam kondisi ini, filsafat darat yang berpikir dengan garis lurus, tujuan akhir, dan batas territorial tak lagi cukup. Kita membutuhkan filsafat laut, filsafat gelombang, filsafat yang mampu menerima ketidakpastian sebagai hukum. Itulah yang saya tawarkan melalui tidalektika: filsafat gelombang yang lahir dari pengalaman maritim kita.

Buku ini penting ditulis karena ia tidak hanya mengajukan kritik terhadap dialektika klasik, tetapi juga menawarkan paradigma baru untuk ilmu sosial. Tidalektika dapat menjadi kerangka filosofis sekaligus metodologis untuk membaca politik, ekonomi, budaya, agama, bahkan ekologi. Demokrasi yang berulang tidak lagi dibaca sebagai kegagalan konsolidasi, melainkan hukum gelombang. Kapitalisme negara yang bertahan dari krisis bukanlah anomali, melainkan bagian dari siklus reorganisasi. Identitas yang cair dan keyakinan agama yang dinamis bukan kelemahan, melainkan vitalitas yang selalu muncul kembali. Laut yang menyatukan ribuan pulau bukan sekadar geografi, melainkan epistemologi: ruang sosial tempat gelombang sejarah diproduksi.Saya sadar, menawarkan filsafat baru bukanlah perkara kecil. Ia akan diperdebatkan, ditantang, mungkin juga ditolak. Tetapi justru di situlah nilai sebuah gagasan. Saya menulis buku ini bukan untuk menutup percakapan, melainkan untuk membukanya. Saya ingin agar tidalektika diperdebatkan, diuji dalam ruang akademik, diperkaya oleh pengalaman lain, dan mungkin dipakai untuk membaca realitas di luar Indonesia. Sebab saya percaya, Indonesia adalah laboratorium dunia: dari sini kita bisa memperlihatkan bahwa sejarah manusia tidak hanya bisa dibaca dengan bahasa darat, tetapi juga dengan bahasa laut.

Akhirnya, saya berharap pembaca melihat buku ini bukan hanya sebagai karya tentang Indonesia, tetapi sebagai sumbangan dari Indonesia bagi filsafat dunia. Dari laut kita, lahir filsafat baru; dari pengalaman kita, lahir paradigma alternatif. Jika dialektika adalah warisan abad ke-19 dari daratan Eropa, maka tidalektika adalah tawaran abad ke-21 dari kepulauan Nusantara.

Banten, 1 Oktober, 2025

Poetra Adi Soerjo

NTB

surel: fokusntb@gmail.com

Related Articles

Back to top button