PDAM Sumbawa: Maladministrasi, Pembiaran dan Kewajiban Pemerintah Daerah yang Gagal

Sebuah opini hukum, kekecewaan yang mendalam dan kritikan keras kepada Direktur PDAM, Pemda dan DPRD Sumbawa yang bertanggung jawab memberikan pelayanan publik yang baik dengan tersedianya perusahaan air, namun hampir 2 tahun ini sangat tidak dirasakan kebermanfaatannya oleh Masyarakat Sumbawa yang menjadi pelanggan PDAM, Masyarakat hanya menunaikan kewajiban mereka, tapi Perusahaan PDAM tidak melaksanakan kewajiban sebaliknya kepada Masyarakat dengan baik.
Tulisan ini dituliskan oleh M Iqbal Muthalib, salah satu warga sekaligus pelanggan PDAM mewakili Masyarakat wilayahnya dan Pelanggan PDAM yang merasakan hal yang sama.
PDAM adalah lembaga publik yang diberi mandat untuk menyediakan kebutuhan dasar: air bersih. Sebagai badan usaha milik daerah yang menjalankan fungsi pelayanan publik, PDAM berkewajiban menjalankan prinsip-prinsip pelayanan publik termasuk transparansi, akuntabilitas, kontinuitas layanan, dan penanganan pengaduan, yang jelas diatur dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Ketika PDAM gagal melayani tetapi terus menagih dan mengenakan denda, itu bukan sekadar kegagalan operasional, itu adalah maladministrasi yang merampas hak dasar warga.
1) Mereka tidak merespon keluhan rakyat, ini pelanggaran kewajiban pelayanan. Berdasarkan UU pelayanan publik, penyelenggara pelayanan berkewajiban menerima dan menindaklanjuti pengaduan secara cepat, tepat, dan tuntas. Jika keluhan warga tentang minimnya pasokan air berulang kali tidak ditindaklanjuti, maka PDAM telah melanggar kewajiban dasar ini dan menunjukkan itikad buruk dalam memberi layanan publik. Tindakan diam (non-respons) dari Direksi PDAM adalah indikasi nyata ketidakpatuhan terhadap norma pelayanan publik yang mengikat.
2) Ada pembiaran. Tak ada evaluasi serius; ini kegagalan pengawasan daerah
Kepala Daerah (Bupati) dan DPRD mempunyai fungsi pembinaan dan pengawasan atas BUMD. Keputusan Mendagri (Permendagri No.47/1999) jelas mengatur penilaian kinerja PDAM berdasarkan indikator operasional (kontinuitas, tekanan, kualitas, kehilangan air, jumlah keluhan). Jika masalah kontinuitas distribusi (air hanya mengalir satu kali seminggu atau lebih buruk) berlangsung bertahun-tahun tanpa evaluasi dan tindakan korektif, maka itu adalah pembiaran institusional oleh Pemda dan DPRD. Pembiaran semacam ini menempatkan publik pada posisi dirugikan dan melanggar fungsi pengawasan publik.
3) Mereka melanggar aturan penagihan penuh tanpa pelayanan = maladministrasi dan potensi pelanggaran konsumen
menagih tarif penuh dan menerapkan denda kepada konsumen yang berulang kali tidak menerima layanan sesuai standar adalah inkonsistensi yang melanggar asas keseimbangan hak dan kewajiban serta prinsip kepastian hukum. UU Pelayanan Publik mengharuskan adanya standar pelayanan yang dipublikasikan; jika PDAM tidak memiliki atau tidak menerapkan standar tersebut (mis. SPM terkait kontinuitas jam aliran, jadwal distribusi, kompensasi saat layanan gagal), maka proses penagihan dan sanksi yang mereka kenakan tidak berdasar dan terindikasi melanggar ketentuan hukum.
4) PDAM harus dievaluasi total, bukan sekedar janji, melainkan tindakan formal
Permendagri No.47/1999 memberikan kerangka teknis untuk penilaian kinerja PDAM (aspek keuangan, operasional, administrasi). Ketika indikator operasional dasar (kontinuitas layanan, tekanan, tingkat kehilangan air, jumlah keluhan) gagal, maka evaluasi menyeluruh bukan opsi, melainkan kewajiban Pemda. Evaluasi total harus mencakup audit teknis pipa dan jaringan, audit keuangan, pemeriksaan program pemeliharaan, dan penelaahan manajemen pelanggan. Hasil evaluasi harus dipublikasikan.
Sudah terlalu lama masyarakat Sumbawa menanggung ironi yang sama, air dari PDAM jarang mengalir, tapi tagihan tidak pernah berubah. Bahkan, ketika aliran hanya muncul sekali seminggu, itu pun dini hari, pembayaran tetap penuh, dan denda cepat diterapkan bila ada keterlambatan.
Fenomena ini bukan lagi sekadar gangguan teknis, melainkan potret kegagalan sistemik dalam pelayanan publik daerah.
Sebagai Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), PDAM bukanlah entitas privat yang boleh bekerja sesuka hati. Ia tunduk dan wajib menjalankan ketentuan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Dalam regulasi itu jelas disebutkan bahwa setiap penyelenggara pelayanan publik wajib memberikan pelayanan yang cepat, transparan, terukur, dan akuntabel, serta membuka akses pengaduan yang efektif bagi masyarakat.
Masyarakat tidak meminta yang muluk-muluk. Mereka hanya ingin keadilan sederhana: air yang dibayar, harus sampai ke rumah mereka. Dan bagi pejabat yang terus berdiam diri di tengah penderitaan rakyat, diamnya adalah bentuk keterlibatan, karena dalam pelayanan publik, membiarkan ketidakadilan adalah bentuk baru dari pelanggaran.
“Air adalah kehidupan, tapi di Sumbawa, air kini berubah menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan pelayanan publik.”
Penulis: M. Iqbal Muthalib, pelanggan PDAM Sumbawa wilayah kecamatan Moyo Utara.