Opini

Musim Hujan dan Ancaman Banjir di Bima

Penulis: Ipa Bahya
Editor: Hamran

Musim hujan selalu membawa dua wajah bagi wilayah-wilayah di Indonesia: berkah air dan risiko bencana. Namun di Bima, Nusa Tenggara Barat, musim hujan telah berubah menjadi periode kecemasan yang berulang. Setiap awan gelap yang menggantung di atas pegunungan, masyarakat hampir pasti bertanya-tanya: “Desa mana yang akan terendam berikutnya?” Di daerah ini, hujan tidak lagi semata-mata fenomena alam—ia adalah pemicu kepanikan sosial, terutama sejak gunung-gunung yang dahulu menghijau kini berubah menjadi bukit gersang tak bercakar akar.

Kerusakan tutupan hutan menjadi faktor utama yang mengubah karakter hujan. Dulu, saat pepohonan masih lebat, air hujan jatuh seperti meresap di antara rimbunnya daun dan tertahan oleh sistem akar yang menumbuhkan kehidupan. Namun ketika gunung-gunung ditebang dan lahan-lahan direnggut untuk kepentingan sesaat, tanah kehilangan kemampuannya menahan air. Kini, hujan hanya butuh beberapa jam untuk mengubah sungai menjadi monster yang mengamuk dan menyeret lumpur turun ke perkampungan.

Fenomena ini bukan lagi rahasia atau sesuatu yang tak terduga. Para peneliti lingkungan, lembaga swadaya masyarakat, bahkan warga sendiri telah lama memperingatkan bahwa hilangnya tutupan hutan akan menjadikan Bima sebagai wilayah rawan banjir bandang. Namun suara-suara itu sering tenggelam di tengah kepentingan ekonomi, pembiaran birokrasi, dan lemahnya pengawasan hukum. Ironisnya, setiap kali banjir melanda, pernyataan resmi pemerintah selalu terdengar sama: bencana alam, cuaca ekstrem, dan ketidakberuntungan. Padahal kerusakan lingkungan adalah ulah manusia.

Efek banjir di Bima tidak hanya merusak rumah dan lahan pertanian. Ia menghancurkan struktur kehidupan: pendidikan terhenti, jalan terputus, ekonomi lumpuh, dan masyarakat terjebak dalam pusaran kerugian. Air yang berlimpah saat musim hujan tidak pernah tersimpan sebagai cadangan—sehingga ketika kemarau tiba, Bima justru kekurangan air bersih. Inilah paradoks ekologis yang paling brutal: kebanjiran saat hujan, kehausan saat kemarau.

Langkah solusi kerap terdengar sebagai wacana. Reboisasi hanya berjalan saat proyek berjalan. Penertiban penebangan liar sering kali berhenti pada kampanye, bukan penindakan. Masyarakat kecil diminta bersabar, sementara pengambil keuntungan dari eksploitasi hutan tetap melangkah tanpa konsekuensi. Bahkan jika penanaman pohon dilakukan, tanpa pengawasan dan perawatan, bibit itu mati sia-sia.

Menelisik lebih jauh persoalan ini berarti mengakui bahwa banjir di Bima bukan sekadar datang dari langit—ia datang dari kebijakan yang lemah. Pemerintah membutuhkan keberanian politik untuk menindak perusak hutan, mengembalikan fungsi ekologis gunung, dan melibatkan masyarakat dalam pemulihan. Tanpa langkah-langkah konkret, Bima akan terus hidup dalam ketakutan setiap kali musim hujan datang.

Pada akhirnya, hujan bukan musuh. Hujan tetap berkah jika alam dibiarkan bekerja sebagaimana mestinya. Yang menjadi musuh adalah ketidakpedulian. Jika Bima ingin kembali aman, hijau, dan berdaya, maka hutan harus kembali berdiri, sungai harus kembali bersih, dan manusia harus kembali menghormati alam yang selama ini menjadi penopang kehidupan. Sebab selama gunung tetap gundul, bencana hanya menunggu giliran.

Related Articles

Back to top button