
Tim Promer UTS Melihat Langsung Tata Cara Pembuatan Kain Songket (Kre Alang) di Dusun Malili (Dok)
Moyo Hilir, Fokus NTB – Kamis, (20/10/2022) Mahasiswa Program Merdeka Batch 5 Universitas Teknologi Sumbawa (UTS) Desa Berare melakukan kunjungan ke Dusun Malili guna melihat proses pembuatan Kain Songket Khas Sumbawa (Kre alang) yang dimana hal tersebut menjadi ikon destinasi wisata di daerah itu.
Kre Alang adalah salah satu jenis tenunan Sumbawa (Samawa) berupa kain songket berbahan dasar benang katun yang disongket benang emas atau perak. Kre Alang merupakan identitas Tau Samawa (Orang Sumbawa) yang digunakan dalam berbagai aktivitas budaya, terutama dalam Upacara Adat.

Adapun Desa yang kini dianggap sebagai Sentra Kerajinan kain tenun di Kabupaten Sumbawa tersebar di dua Kecamatan yaitu Kecamatan Moyo Hilir dan Kecamatan Moyo Utara. Di Kecamatan Moyo Hilir, sentra kerajinan tersebut berada di Desa Poto dengan sebaran dusun yakni di Dusun Poto, Bekat, Samri dan Malili.
Menurut pengakuan penenun yang ada di Dusun Malili, mereka dulu belajar menenun ke Desa Poto. Disamping karena Desa Poto lebih dahulu populer sebagai sentra tenun, para perajin tenun di Desa Poto juga tersebar di beberapa Dusun sehingga peluang untuk alih keterampilan bagi para perempuan dari desa lain menjadi terbuka. Selain itu juga keterampilan Menenun atau Nesek ini, didapat secara turun-temurun dari nenek moyang.
Karena tradisi menenun ditanah Samawa sangat kuat, hingga menjadikan keterampilan tersebut sebagai jati diri kaum perempuan, hal itu tergambar dalam ungkapan lokal “siong tau swai, lamin no to nesek” artinya bukan perempuan, jika tidak bisa menenun.
Seiring meningkatnya promosi kebudayaan dan pariwisata, termasuk salah satunya penggunaan kain tenun sebagai trend fashion membangkit minat masyarakat di Dusun Malili untuk kembali menenun. Apalagi dengan adanya kegiatan Sabtu Budaya yang dicetuskan oleh Dinas Provinsi Nusa Tenggara Barat, melahirkan permintaan pasar yang cukup tinggi akan kain tenun khas sumbawa. Ini menjadi salah satu faktor yang membangkitkan semangat para penenun.
Kre Alang memiliki ciri khas dari segi motif, ragam hias dan juga warna yang biasanya disesuaikan dengan sumber daya alam dan lingkungan yang ada di Sumbawa. Dan bedanya dari kain tenun lainnya, Kre Alang memiliki motif yang dibuat menggunakan benang berwarna emas.
Untuk proses pembuatannya memakan waktu yang cukup lama. Untuk satu Kre Alang bisa menghabiskan waktu satu bulan bahkan lebih, tergantung motif dan tingkat kerumitannya. Biasanya, pembeli memperoleh referensi motif (semacam katalog) dari hasil berbagai di media sosial. Atas dasar itu, pembeli kemudian menentukan warna dasar kain, warna motif, jenis motif, termasuk ragam hiasnya. Satu Kre alang lengkap dengan selendangnya dijual dengan harga 2 jutaan.
Motif-motif dasar pada kain songket sumbawa ialah motif dari nama dan sifat tumbuhan (Kemang Satange, Lonto Engal, Pusuk Rebong, dan Wapak). Kemang Satange artinya bunga setangkai. Satange dianalogikan sebagai keberadaan Tuhan Yang Maha Esa, penguasa alam semesta, dan cara pandang manusia kepada sang pencipta yaitu Tuhan Yang Maha Esa (Anggilan, 2014:4).
Lonto Engal merupakan tanaman merambat di tanah dan berumbi yang banyak tumbuh di dataran sumbawa. Lonto Engal memiliki sifat yaitu dahan dan rantingnya merambat kesana kemari untuk pertumbuhan umbinya. Masyarakat sumbawa memandang motif lonto engal sebagai simbol fasafah hidup orang sumbawa yang bebas pergi kemana saja untuk menuntut ilmu atau berniaga dan hasilnya untuk kesejahteraan daerah sumbawa (1998:24).
Pusuk Rebong adalah tunas bambu yang dimanfaatkan sebagai sayur. Apabila sudah besar, tunas itu akan menjadi batang bambu yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan bangunan dan lain-lain. Penggunaan pusuk rebong sebagai ragam hias mengandung makna bahwa orang sumbawa dalam menjalani kehidupannya diharapkan bisa berguna bagi masyarakat dan lingkungannya.
Ada juga motif dari nama makhluk hidup. Nama-nama motif yang berasal dari makhluk hidup seperti manusia dan binatang yang dibuat menyerupai bentuk aslinya dan juga yang telah digayakan (stilisasi) sehingga mirip dengan motif-motif yang berasal dari nama tumbuhan. Motif-motif tersebut ialah Piyo (burung), Naga, Manusia (nenek moyang), Kerbau dan Buraq (binatang yang dilukiskan berkepala manusia dan berbadan hewan).
Terakhir, dari aspek pemasaran terdapat beberapa metode penjualan yang digunakan oleh penenun dalam rangka memasarkan hasil tenunannya yaitu Pertama, cara konvensional yakni pembeli mendatangi penenun untuk membeli kain yang sudah jadi (stok barang) atau memesan kain tenun berdasarkan keinginan masing-masing pembeli. Kedua, pembeli memesan secara online.
Keberadaan media sosial tidak dipungkiri telah memangkas jarak dan waktu yang dibutuhkan oleh pembeli dan penenun untuk saling bertransaksi. Dusun Malili dapat menjadi contoh model interaksi online yang mana pembeli memesan kain dengan referensi dari internet/teman sejawat yang kemudian ditunjukkan secara online pula kepada penenun untuk dibuatkan.
Ketiga, dengan sistem arisan. Pembeli membayar kain yang dibelinya setiap bulan. Keempat, melalui galeri atau bazaar-bazaar tertentu. Beberapa event budaya semisal Festival Moyo menghadirkan pangsa pasar yang cukup besar bagi distribusi kain tenun.
Setelah kunjungan kami ke Dusun Malili, para penenun sangat berharap dari segi pemasaran adanya pusat penjualan atau galeri setidaknya 1 di masing-masing desa. Kemudian, perlunya digital marketing dalam rangka memangkas jarak pemasaran sehingga pengetahuan dan kepedulian masyarakat terhadap kain tenun Sumbawa semakin meningkat. (Tim Promer UTS Desa Berare)