Millenial Pemilih Cerdas Menurut Amilan Hatta
Foto: Amilan Hatta
Pemilu 2024 sudah di depan mata. Itu adalah kontestasi sakral yang “Wajib” diikuti oleh setiap warga negara. Pemilu adalah kebutuhan dalam rangka menentukan masa depan setiap orang. Ini adalah satu di antara pemahaman yang harus dimiliki untuk menjadi pemilih cerdas. Pengertian seperti itu harus tumbuh pada diri kalangan muda sebagai pondasi demokrasi.
Ada tiga indikator dasar yang saya tawarkan untuk menjadi pemilih cerdas bagi Millenial. Pertama, mengerti kebutuhan diri sendiri, misalnya meliputi kesehatan, lapangan kerja, fasilitas/infrastruktur, budaya, olahraga dan lain-lain. Kedua, mengerti alur kerja lembaga negara khususnya eksekutif dan legislatif dalam mewadahi kebutuhan tersebut. Ketiga, mengenal gagasan dan track record seseorang yang mengajukan diri sebagai wakil rakyat.
Tiga unsur ini sekaligus menjadi ukuran seseorang memilih wakilnya di kancah parlemen maupun eksekutif. Point ke 3 adalah yang paling krusial dan wajib diaplikasikan. Aspek ini menentukan kualitas kinerja ke depan seseorang yang kita pilih. Calon incumbent dapat diukur dengan napak tilas kinerjanya. Calon baru diukur dari gagasan yang di bawa beserta kiprah sebelumnya.
Perlu dipahami, wakil rakyat yang melayani rakyat merupakan bagian dari pekerjaan. Tapi calon wakil rakyat yang telah berkontribusi sebelum menduduki kursi jabatan wakil rakyat disebut sebagai pengabdi. Tentu yang diharapkan adalah seseorang yang secara administratif ia menempati suatu profesi, namun dalam praktik kerja ia adalah seorang pengabdi.
Saya sendiri memposisikan diri sebagai calon keterwakilan Millenial di Pileg Provinsi NTB 2024 dengan motivasi pengabdi. Saya secara masif berbicara isu kebudayaan melalui Lembaga Analisis Kajian Kebudayaan Daerah (Linkkar) yang saya bentuk. Saya juga lama berkecimpung di dunia olahraga bola bersama masyarakat Kabupaten Sumbawa. Di samping itu, saya juga telah bergerak dalam penanganan stunting, masyarakat difabel, termasuk pengadaan alat pertanian dan mengupayakan pembangunan fisik di lingkungan masyarakat.
Belum lama ini, saya menginisiasi pembuatan Film Dokumenter Drama Barempuk di Desa Kakiang, berikut juga Film Budaya Ponan di Desa Poto. Film tersebut diproduksi dan dibintangi anak-anak muda. Tentu yang kita harapkan dari gerakan branding budaya ini adalah efek domino positif terkait kepemudaan, pariwisata, pengembangan UMKM, dan lain sebagainya.
Sederet gerakan inilah yang menuntun saya hadir dengan tagline Berpolitik di Jalan Kebudayaan. Gerakan ini adalah antitesis dari degradasi nilai budaya luhur bangsa Indonesia. Saya memandang budaya sebagai locus ide untuk mengadakan pembangunan secara mental maupun fisik. Budaya mendorong kita untuk terus berkontribusi menuju kebaikan dalam kesatuan rasa di tengah praktik amoral dan perpecahan yang marak hari ini.
Budaya adalah benteng terakhir yang bisa digunakan oleh pemuda untuk menghadapi kompleksitas persoalan, atau melayani kompleksitas kebutuhan masyarakat demi kemajuan bangsa. Jika bertolak dari indikator pemilih cerdas yang saya terangkan sebelumnya, saya telah menunjukkan kalkulasi dan kompetensi melalui portofolio di atas.
Singkatnya, pemilih yang menginginkan perubahan/perbaikan pada suatu sektor tertentu harus mampu melihat kiprah calon wakilnya terhadap sektor yang dimaksud “sebelum” ia menjadi pemangku jabatan. Langkah ini bisa dikatakan sebagai penyelarasan visi dan misi antara rakyat dengan calon wakilnya. Betapa memahami kapasitas calon wakil rakyat adalah persoalan yang penting. Inilah ciri khusus bagi pemilih cerdas. Ia adalah pemilih yang lahir melalui pertimbangan yang matang berdasar pada asas kejujuran dalam nuraninya.
KPU RI telah merilis 68.822.389 Millenial yang akan mendominasi di Pemilu 2024. Millenial adalah kelompok usia yang bisa dikatakan melek informasi. Karena itu ia memiliki tanggung jawab sosial besar dalam menjamin kualitas demokrasi 2024. Saya berharap, 33.60 persen dari total DPT ini adalah pionir penuntut ta’aruf rakyat dengan calon wakilnya di parlemen maupun eksekutif.