Jhon Payung, social well being activist
Negara Indonesia dalam mewujudkan hajatnya untuk melaksanakan pesta demokrasi yang adil membentuk dua lembaga independen sebagai panitia pelaksana pemilu, yaitu KPU dan Bawaslu.
Pelaksanaan demokrasi memang selalu mengalami pasang surut, ditandai dengan berkembangnya undang-undang yang mengatur proses pelaksanaannya. Akan tetapi, boleh lah kita sepakati dulu yang namanya lembaga independen ya harusnya tidak terafiliasi pada pihak manapun.
Negara sebetulnya sudah menjamin hal tersebut dengan adanya perubahan pada isi anggota lembaga KPU dan Bawaslu. Dimana sebelum Pemilu 2004, KPU dapat terdiri dari anggota-anggota yang merupakan anggota sebuah partai politik, namun setelah dikeluarkannya UU No. 4/2000 pada tahun 2000, maka diharuskan bahwa anggota KPU adalah non-partisan.
Akan tetapi, praktiknya di lapangan calon peserta pemilihan komisioner lembaga-lembaga KPU dan Bawaslu harus konsolidasi dulu. Konsolidasi sering diartikan sebagai penguatan, pengukuhan, pengamanan. Memunculkan dialog “Kalau mau aman, konsolidasi dulu”. Tidak jarang orang-orang yang akan seleksi jadi komisioner ini harus konsolidasi dibawah Payung.
Sebetulnya pada proses seleksi KPU dan Bawaslu ini menggunakan proses seleksi yang sifatnya terukur, objektif, dan dilakukan oleh tim seleksi. Hal ini didukung dengan tata cara seleksi calon anggota KPU dan Bawaslu menggunakan seleksi Administrasi, CAT, Tes Psikologi dan seleksi lanjutan. Selain beberapa tes mereka akan melalui beberapa tahapan eliminasi, contohnya pada komisioner, dari pendaftar akan diseleksi menuju ke 20 besar, 10 besar sampai 5 besar.
Akan tetapi, proses seleksi yang harusnya dilakukan terbuka, malah dibuat sangat eksklusif (dibawah payung), bahkan kadang sambil safari timsel ini “jualan payung” jalur konsolidasi.
Hal tersebut semakin membuka celah untuk KPU dan Bawaslu kehilangan asas independensinya sebagai lembaga independen. Malahnya pengumuman dan persyaratan jelas-jelas ditujukan untuk umum selama itu: ahli tertentu, dan lolos seleksi. Tidak ada di syarat yang menyatakan bahwa kamu harus direkomendasikan oleh payung merah, kuning, atau hijau.
Jika praktik ini terus dilakukan maka demokrasi akan kehilangan nafasnya yakni: Keterbukaan. Jika lembaga ini didirikan hanya untuk mendistribusikan kader maka ubah dulu undang-undangnya. Kita sedang pilih panitia penyelenggara demokratis kok diskusinya di bawah payung?