Uncategorized

Deep Learning dan Kurikulum Merdeka

NINDY ELMA SANJAYA
Ketua DPC GMNI Sumbawa

Begitu Prof. Abdul Mu’ti menjabat sebagai Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, istilah deep learning kembali muncul sebagai diskursus dalam ruang publik terutama dalam dunia pendidikan Indonesia.

Mendikdasmen Abdul Mu’ti di berbagai kesempatan menegaskan pentingnya pendekatan deep learning dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Bahkan juga menyebutkan bahwa pemikiran dan arah kebijakan terkait konsep deep learning, telah mendapat respon luas dari masyarakat dan akademisi.

Menteri Mu’ti menjelaskan bahwa deep learning merupakan sebuah pendekatan pembelajaran yang berfokus pada pemahaman mendalam dan pengaplikasian konsep secara lebih baik. “Deep learning bukan sekedar menghafal atau mengerjakan soal-soal ujian, tetapi bagaimana siswa memahami konsep secara menyeluruh, mengaitkannya dengan disiplin ilmu dan mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata,” ujar Menteri Mu’ti di Auditorium Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA (UHAMKA) pada pertengahan Februari lalu.

Namun, beberapa pihak sempat mengasumsikan bahwa deep learning sebagai ancaman bagi Kurikulum Merdeka, bahkan muncul anggapan bahwa deep learning akan menggantikannya. Deep learning bukanlah kurikulum, melainkan sebagai pendekatan belajar. Lalu sebenarnya apa itu pendekatan belajar deep learning?

Mengutip Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia Cecep Darmawan yang menerangkan bahwa deep learning bukan teknik belajar yang sekadar menekankan pada hafalan, melainkan lebih pada pemahaman dan pemikiran kritis yang kontekstual.

Alhasil, deep learning memang bukanlah kurikulum baru, melainkan pendekatan pembelajaran yang justru sejalan dengan semangat Kurikulum Merdeka, yang menekankan pembelajaran bermakna dan berpusat pada murid.

Deep learning adalah pendekatan pembelajaran yang mendorong siswa memahami secara mendalam, mengajukan pertanyaan kritis, dan membangun koneksi antara pengetahuan yang mereka pelajari dengan kehidupan sehari-hari.

Terkait hal ini ini, John Dewey, seorang filsuf pendidikan progresif, menekankan pentingnya pembelajaran berbasis pengalaman ( experiential learning).

Menurutnya, pendidikan sejati terjadi ketika siswa terlibat aktif dalam proses belajar dan mampu menghubungkan apa yang mereka pelajari dengan masalah nyata di dunia sekitar mereka. Hal ini sangat relevan dengan deep learning, yang berupaya membangun pemahaman bermakna melalui keterlibatan siswa dalam pembelajaran.

Kebalikan dari deep learning adalah surface learning, atau pembelajaran permukaan dimana lebih menekankan pada hafalan dan reproduksi informasi tanpa menggali pemahaman mendalam.

Melalui bukunya Pedagogy of the Oppressed, Paulo Freire mengkritik pendekatan pendidikan yang ia sebut sebagai banking model, di mana siswa hanya dianggap sebagai “penampung informasi” tanpa kesempatan untuk berpikir kritis. Pendekatan ini membuat siswa sulit memahami relevansi pengetahuan dengan kehidupan nyata mereka, sehingga pembelajaran menjadi dangkal dan tidak berdampak jangka panjang.

Dalam konteks implementasi, deep learning sangat sejalan dengan berbagai fitur dalam Kurikulum Merdeka. Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) adalah salah satu contoh nyata yang mengintegrasikan pendekatan ini. Pemerintah hari ini yang masih melanjutkan Kurikulum Merdeka, berharap bahwa dengan pendekatan deep learning, pendidikan di Indonesia dapat semakin maju, adaptif terhadap perkembangan zaman, dan mampu melahirkan generasi yang memiliki daya pikir kritis serta kemampuan pemecahan masalah yang lebih baik.

Deep learning mengutamakan proses berpikir tingkat tinggi, seperti problem solving, kolaborasi, dan menemukan makna. Pembelajaran yang dilakukan dengan pendekatan ini akan mendorong siswa untuk terus berpikir kritis, menggali pengetahuan, dan pada akhirnya dapat menghubungkan apa yang dipelajari dengan kehidupan nyata.

Lebih jauh lagi, deep learning juga berhubungan dengan teori kognitif, yang menunjukkan bahwa proses belajar melibatkan perhatian (attention), pengolahan informasi yang mendalam (deep level processing), dan memori. Informasi yang dipelajari akan lebih mudah diingat jika diproses dengan cara yang lebih mendalam dan terkait dengan pengalaman sebelumnya. Proses ini sejalan dengan prinsip-prinsip dalam psikologi kognitif yang telah terbukti efektif dalam meningkatkan kualitas pembelajaran.

Dalam penerapannya, deep learning memungkinkan para guru untuk lebih terlibat dalam memantau dan mengarahkan proses pembelajaran siswa dengan lebih efektif. Guru tidak hanya memberikan informasi, tetapi juga mengajak siswa untuk memahami makna dan relevansi materi yang diajarkan. Dengan demikian, pembelajaran menjadi lebih aktif, menyenangkan, dan yang terpenting, penuh makna bagi siswa.

Momentum tahun 2025 ini, guru perlu menjadikan deep learning sebagai resolusi baru dalam mendukung transformasi pendidikan Indonesia. Teknologi, pembelajaran berbasis proyek, dan pendekatan diferensiasi harus dimanfaatkan secara maksimal untuk menciptakan pengalaman belajar yang bermakna.

Pada akhirnya, kita dapat kembali pada pemikiran Ki Hadjar Dewantara, yang menekankan bahwa pendidikan harus memerdekakan manusia, baik secara pikiran, jiwa, maupun raga.

Dengan mengintegrasikan deep learning ke dalam praktik sehari-hari, pendidikan Indonesia dapat melahirkan generasi pembelajar yang tidak hanya cerdas, tetapi juga mampu berkontribusi secara nyata bagi masyarakat.

Karena sejatinya, pendidikan bukan hanya tentang mengisi kepala dengan informasi, tetapi tentang menghidupkan jiwa dan mempersiapkan siswa menghadapi dunia dengan penuh makna.

Related Articles

Back to top button