Hukum KriminalPemerintahan

Ketua AMAN Sumbawa Kritik ‘Kolonialisme Hijau’ di Forum Bisnis dan HAM Asia-Pasifik

Bangkok, Fokus NTB – Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Daerah Sumbawa, Febriyan Anindita, menyampaikan kritik tajam terhadap praktik transisi energi global yang justru melanggengkan perampasan ruang hidup masyarakat adat. Ia berbicara dalam sesi Centering Frontline Communities in the ‘Green Transition’ and Responses to Environmental Harms pada Forum Bisnis dan Hak Asasi Manusia Asia-Pasifik yang digelar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Jum’at (19/9).

Menurut Febriyan, transisi energi sering dipromosikan sebagai solusi krisis iklim, namun di lapangan justru menjadi wajah baru kolonialisme. “Apa yang disebut energi hijau di Eropa dan Asia Timur, dibayar dengan penghancuran tanah adat dan diskriminasi masyarakat di Sumbawa,” ujar Febriyan.

Ia menyinggung kasus Komunitas Adat Berco di Desa Lawin, Kecamatan Ropang, Kabupaten Sumbawa. Wilayah adat seluas 29.975 hektar itu sejak 1986 masuk ke dalam konsesi tambang Newmont, dan kini dikuasai PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT). Proyek eksplorasi Elang Dodo, kata dia, dilakukan tanpa persetujuan bebas, didahulukan, dan diinformasikan (FPIC). “Ada 3.750 kuburan leluhur yang terancam digusur. Ini bukan sekadar pelanggaran prosedur, melainkan perampasan sejarah dan identitas masyarakat adat,” tegasnya.

Febriyan juga menyoroti peran negara yang menurutnya lebih banyak menjadi “pelindung korporasi” daripada pelindung rakyat. Ia merujuk pada penggunaan pasal-pasal karet dalam UU Minerba untuk mengkriminalisasi warga adat. “Konstitusi kita jelas mengakui masyarakat adat, Putusan MK 35/2012 menegaskan hutan adat bukan hutan negara. Tapi di lapangan, hukum dipelintir demi akumulasi modal,” ujarnya.

Dalam forum yang juga menghadirkan Dr. Pichamon Yeophantong (UN Working Group on Business and Human Rights), Zubair Torwali (Idara Baraye Taleem wa Taraqi), dan Pianporn Deetes (International Rivers), Febriyan mengingatkan komunitas internasional agar tidak menutup mata. Menurutnya, sertifikasi semacam Copper Mark yang diterima AMNT tahun 2024 justru menjadi alat hijau-hijauan (greenwashing) untuk menutupi pelanggaran hak asasi dan kerusakan budaya.

“Energi transisi yang tidak adil hanya akan menjadi kolonialisme hijau. Apa arti listrik hijau di London bila dibayar dengan luka masyarakat adat di Sumbawa?” katanya.

Ia mendorong langkah konkret: moratorium sertifikasi Copper Mark hingga hak FPIC dijalankan, pengakuan resmi wilayah adat Berco oleh pemerintah Indonesia, serta kewajiban human rights due diligence bagi investor dan pembeli internasional. “Transisi energi harus adil, menempatkan masyarakat adat sebagai subjek, bukan korban,” pungkasnya.

Forum Bisnis dan HAM Asia-Pasifik digelar setiap tahun oleh Kantor HAM PBB (OHCHR) bersama lembaga mitra internasional. Tahun ini, forum menyoroti dampak sosial-ekologis dari agenda transisi energi di Asia-Pasifik, serta menekankan pentingnya partisipasi komunitas garis depan dalam proses pengambilan keputusan.

NTB

surel: fokusntb@gmail.com

Related Articles

Back to top button