BeritaBudaya

Pemuda Lunyuk Menatap Elang: Antara Janji dan Realita Tambang AMNT

Muhammad Shalihin – Pemuda Lingkar Tambang, Kecamatan Lunyuk, Kabupaten Sumbawa, NTB

Sumbawa, Fokus NTB – Finalisasi Definitive Feasibility Study (DFS) Elang Project PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT) sedang berjalan. Proyek yang digadang akan membawa “kemajuan” ini kembali menempatkan Lunyuk dan sekitarnya dalam pusaran wacana tambang: janji pembangunan, peluang kerja, dan klaim kemakmuran.

Namun, di balik retorika itu, ada ketertutupan informasi yang patut dipertanyakan, bahkan dikhawatirkan. Sebagai pemuda yang tumbuh di lingkar tambang, saya belajar bahwa proyek pertambangan selalu datang dengan dua wajah: satu penuh janji manis, satu lagi sarat risiko yang sering disembunyikan. DFS seharusnya menjadi dokumen kunci yang memberi gambaran lengkap tentang dampak sosial, lingkungan, dan ekonomi proyek ini.

Tapi, publik di Lunyuk tidak pernah diajak membacanya, apalagi memberi masukan. Ketika pemerintah daerah Sumbawa memilih pasif, membiarkan perusahaan mengatur alur informasi, kita paham bahwa ini bukan sekadar kelalaian administratif. Ini adalah bagian dari pola kekuasaan yang memosisikan warga sebagai objek, bukan subjek pembangunan.

Partisipasi publik diurus lewat seremoni, bukan dialog bermakna. Dalam Laporan Keberlanjutan 2024, AMNT menulis panjang lebar tentang komitmen pada keberlanjutan, program CSR, dan pelibatan pemangku kepentingan. Tapi tanpa akses pada DFS, bagaimana kita memverifikasi klaim itu? Apakah analisis risiko lingkungan sudah mengantisipasi banjir atau krisis air bersih di Lunyuk? Apakah rencana reklamasi realistis atau hanya jargon untuk investor? Kami, generasi muda Lunyuk, tidak ingin sekadar jadi penonton di tanah sendiri.

Ketertutupan informasi berarti masa depan kami dipertaruhkan tanpa kami punya hak suara. Di atas kertas, Elang Project menjanjikan peluang kerja dan infrastruktur. Tapi pengalaman dari proyek tambang sebelumnya mengajarkan: pekerjaan bersifat sementara, kerusakan lingkungan permanen. Transparansi bukan kemewahan, tapi kebutuhan dasar untuk melindungi masa depan wilayah.

DFS yang tertutup sama saja dengan kontrak sosial yang ditandatangani dalam gelap. Pemuda Lunyuk menuntut hak untuk tahu, hak untuk bertanya, dan hak untuk menentukan arah pembangunan di tanah kami. Pemerintah daerah harus berhenti menjadi penonton yang pasif. Keterbukaan DFS adalah langkah awal.

Jika dokumen itu tetap terkunci di meja perusahaan, maka semua retorika keberlanjutan hanyalah greenwashing yang menutupi praktik ekstraktif yang sama—menguras sumber daya, meninggalkan luka, dan meminggirkan rakyat. Karena pembangunan yang lahir dari ketertutupan bukan kemajuan, melainkan pengulangan sejarah: rakyat di pinggir, keuntungan di pusat.

Related Articles

Back to top button