DPRD NTB Harus Bangun dari Tidur Panjangnya: Gunakan Hak-Hak Inisiatif untuk Bongkar Dana Belanja Tak Terduga

Selama lebih dari dua dekade, DPRD Nusa Tenggara Barat seolah nyaman hidup dalam bayang-bayang eksekutif. Lembaga yang semestinya menjadi pengawas, pengimbang, dan suara rakyat justru terlihat jinak tak bersuara, apalagi menggigit. Padahal, di tangan mereka tersimpan senjata konstitusional yang kuat. hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Sayangnya, hak-hak ini tidak pernah sekalipun digunakan sejak NTB berdiri sebagai Provinsi otonom.
Pertanyaannya sederhana tapi tajam, untuk apa rakyat memilih wakilnya, jika mereka tidak berani menggunakan hak-hak yang diberikan konstitusi?
Hak yang Mandul di Gedung Rakyat
Dalam sistem demokrasi, DPRD bukan hanya pelengkap upacara atau pengesah kebijakan pemerintah. DPRD adalah pengawas yang punya kewenangan besar untuk memeriksa, menegur, dan bahkan mengoreksi jalannya pemerintahan. Namun di NTB, fungsi itu seperti mati suri.
Sudah 20 tahun lebih, tidak pernah terdengar ada hak interpelasi untuk meminta penjelasan atas kebijakan penting. Tak ada hak angket untuk menyelidiki dugaan penyimpangan. Tak ada pula hak menyatakan pendapat sebagai bentuk sikap politik terhadap keputusan yang merugikan publik.
Padahal, di balik setiap kebijakan, selalu ada kepentingan rakyat yang harus dijaga. Ketika DPRD diam, rakyat kehilangan pengawasnya.
Dana Belanja Tak Terduga, Tak Terduga bagi Siapa?
Salah satu pos yang paling rawan disalahgunakan adalah Dana Belanja Tak Terduga (BTT). Namanya saja sudah tak terduga, tetapi ironisnya, penggunaannya justru seringkali sangat bisa diduga. Dana ini seharusnya digunakan untuk keadaan darurat, bencana alam, wabah penyakit, atau peristiwa tak terencana yang mendesak. Namun publik sering mendengar kabar bahwa BTT dipakai untuk kegiatan yang jauh dari prinsip kedaruratan.
Siapa yang berani memeriksa ini? Siapa yang memastikan bahwa BTT tidak dijadikan kantong fleksibel untuk kepentingan politik atau proyek mendadak menjelang tahun anggaran berakhir?
Jawabannya seharusnya DPRD NTB. Tapi jika DPRD tetap memilih diam, publik berhak curiga, apakah diam itu tanda ketidaktahuan, ketakutan, atau justru kenyamanan?
Momentum Mengembalikan Marwah DPRD
NTB membutuhkan parlemen daerah yang berani, bukan yang sekadar sopan.
Dewan harus berani menggunakan hak interpelasi untuk meminta penjelasan resmi dari pemerintah daerah soal alokasi dan realisasi BTT selama beberapa tahun terakhir. Bila ditemukan indikasi penyimpangan, hak angket harus digunakan untuk membuka tabir kebenaran secara terbuka.
Langkah ini bukanlah upaya mencari sensasi politik. Ini adalah tanggung jawab moral dan konstitusional DPRD kepada rakyat. Sebab tanpa keberanian politik, DPRD hanya akan menjadi penonton dari praktik kekuasaan yang bisa saja melenceng.
Rakyat Butuh Keberanian, Bukan Kepatuhan
Rakyat NTB tidak butuh dewan yang patuh, tapi dewan yang berani.
Berani mempertanyakan. Berani mengawasi. Berani membela kebenaran, meski itu berarti berhadapan dengan kekuasaan.
Dua puluh tahun sudah cukup bagi DPRD NTB untuk berdiam diri. Kini saatnya mereka bangun dari tidur panjang, menegakkan kepala, dan menggunakan hak-hak inisiatifnya.
Bukan untuk kepentingan politik sesaat, tapi untuk mengembalikan kepercayaan publik bahwa DPRD bukan sekadar simbol demokrasi — tapi benar-benar rumah rakyat yang hidup dan berdaya.
Penulis: Ramadhan Ubba, Ketua Umum Gerakan Pemuda Oposisi (GERPOSI).