ITK Sumbawa Kritik Politik Pagar Gerbang DPRD

Sumbawa, Fokus NTB — Aksi demonstrasi ratusan mahasiswa yang mendatangi Kantor DPRD Kabupaten Sumbawa, Selasa, 2 September 2025, menuai kritik dari Integritas Transparansi Kebijakan (ITK) Sumbawa. Bukan soal tuntutan yang disuarakan mahasiswa, melainkan sikap pejabat yang hanya menemui massa di pagar gerbang kantor dewan.
Dalam aksi tersebut, mahasiswa menyuarakan empat tuntutan: pengesahan RUU Perampasan Aset, pencopotan Kapolri, penolakan kenaikan pajak, dan penguatan fungsi pengawasan DPRD di sektor pendidikan. Ketua DPRD Sumbawa, Nanang Nasiruddin, bersama Bupati Syarafuddin Jarot, memilih menemui mahasiswa di depan pagar kantor. Nanang menyatakan siap menindaklanjuti aspirasi, sementara Jarot menegaskan isu lokal akan ditangani daerah, sedangkan isu nasional akan diteruskan ke pemerintah pusat.
Namun bagi ITK Sumbawa, pola semacam ini adalah pelemahan demokrasi. Presidium ITK, Abdul Haji, S.Ap, menyebut sikap pejabat hanya menempatkan mahasiswa sebagai “pengunjung luar pagar” tanpa ruang masuk ke mekanisme formal.
“Aspirasi publik seharusnya masuk ke ruang sidang, bukan berhenti di pintu pagar. Demokrasi menuntut risalah, rapat, dan keputusan yang bisa dipertanggungjawabkan. Kalau hanya di gerbang, itu sekadar politik simbolis,” kata Abdul Haji.
Sebagai mantan aktivis HMI dan Presiden Mahasiswa BEM Unsa periode 2008–2009, Abdul Haji menilai sikap pejabat hari ini justru mengulang praktik lama yang tidak pernah berubah. Menurutnya, pejabat sering tampil responsif di depan massa, tetapi enggan menindaklanjutinya dengan mekanisme resmi yang akuntabel.
“Kami dulu berjuang agar pintu dewan menjadi pintu rakyat. Kalau sekarang pejabat masih membatasi rakyat di luar pagar, berarti demokrasi kita dikebiri. Aspirasi jadi ritual basa-basi, bukan substansi kebijakan,” ujarnya.
Aksi mahasiswa itu berakhir damai setelah ditemui ketua dewan dan bupati. Namun bagi ITK Sumbawa, pertemuan di pagar hanyalah potret demokrasi yang belum matang.
Pagar besi yang berdiri kokoh di depan gedung dewan kini menjelma metafora: demokrasi masih dikurung, rakyat hanya boleh menunggu di luar. Pertanyaannya, kapan aspirasi benar-benar dibawa masuk ke ruang sidang, bukan berhenti sebagai janji di depan pintu gerbang?