Perampokan di Tana Bulaeng: Ironi Kekayaan dan Kemiskinan di Jantung Sumbawa

Oleh: Daeng Tonil, Ketua Forum Sumbawa Menggugat.
Sumbawa, sebuah Tanah Tua yang berkelindan dengan kekayaan alam, adalah magnet abadi. Kandungan mineralnya terkuak tahap demi tahap, menarik mata serakah dan tangan-tangan perkasa dari segala penjuru untuk datang mengeruknya. Ia ibarat Surga yang terhampar, dengan hutan, laut, dan kandungan mineral yang seakan tiada bertepi di dalam perut pertiwi.
Ironisnya, pulau yang begitu kaya ini justru memiliki populasi yang minim, sekitar 1,3 juta jiwa—jauh lebih sedikit dibandingkan Pulau Lombok yang luasnya hanya sepertiga namun dihuni oleh sekitar 3,2 juta jiwa.
Maka, tak mengherankan jika Sumbawa menjelma menjadi ‘tanah harapan’ yang menampung migrasi besar-besaran. Lahan pertanian yang luas dan subur, peternakan yang prospektif, hasil hutan yang melimpah ruah, dan kini, sektor pertambangan yang masif. Sumbawa menjanjikan masa depan, menarik para pendatang dengan harapan hidup yang lebih baik.
Namun, di balik harapan tersebut, terselip ancaman nyata: Kapitalis asing, berkedok investasi, kini dengan tangan besi mereka mulai merambah hingga ke jantung Tana Bulaeng. ”Bulaeng” adalah kata suku Samawa yang berarti “Emas”. Kata ini bukan sekadar identitas; ia adalah janji sekaligus kutukan—makna mendalam yang menyimpan tanda tanya besar bagi masyarakat lokal, namun memancarkan kegairahan yang tak terbatas bagi para pemilik modal global.
Negeri ini kini menjadi panggung utama sebuah ironi yang memilukan. Di satu sisi, ia adalah lumbung kekayaan alam yang diincar dunia. Di sisi lain, Sumbawa tercatat sebagai salah satu daerah dengan kasus gizi buruk terbanyak.
Tingkat pendidikan dan pembangunan infrastruktur berjalan tersendat, tidak sebanding dengan distribusi kekayaan alamnya.
Slogan Bumi Sejuta Sapi terkesan sekadar retorika. Berbagai kepentingan politik, dari tingkat daerah, provinsi, hingga pusat, saling berebut kue—membuat isu investasi dan divestasi menjadi polemik hangat yang tak berkesudahan.
Sementara elit sibuk berkonflik kepentingan, masyarakat lokal menuntut hak mutlak untuk menjadi tuan rumah di tanahnya sendiri. Sayangnya, upaya ini sering kali dinodai oleh para pembonceng yang mengambil kesempatan, bahkan tidak jarang upaya penciptaan konflik horizontal di tengah masyarakat sengaja dihembuskan, demi memuluskan kepentingan para pengeruk.
Pertanyaan Kritisnya:
Sungguhkah Investasi Pertambangan di Tana Bulaeng ini akan menyejahterakan masyarakat Sumbawa? Atau jangan-jangan, di balik janji investasi, yang terjadi sesungguhnya adalah perampokan sistematis atas hak-hak dasar masyarakat lokal terhadap Tanah Emas mereka sendiri?.



