Edukasi

Oligarki Adat di Tanah Samawa

Oleh: GALIF HADI HARIANTO., SH.(Kabid Agraria DPD IMM NTB )

Di Sumbawa, adat dijadikan senjata. Bukan untuk merawat warisan leluhur, tapi untuk meminggirkan saudara sendiri.


Perjuangan masyarakat adat Cek Bocek/Selesek Reen Sury (Suku Berco) di Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, adalah kisah tentang bagaimana kekuasaan lokal membungkam keragaman dengan mengatasnamakan budaya. Selama lebih dari dua dekade, komunitas ini menjaga bahasa, ritual, dan wilayah adat mereka sendiri. Mereka tak pernah menolak modernitas. Yang mereka tolak adalah ketika negara dan elite adat memaksa mereka tunduk pada satu-satunya lembaga adat resmi: Lembaga Adat Tana Samawa (LATS).

Masalahnya, negara justru ikut bermain dalam logika dominasi ini. Melalui Perda Kabupaten Sumbawa No. 9 Tahun 2015, LATS diformalkan sebagai satu-satunya representasi adat di wilayah Samawa. Imbasnya sangat nyata: komunitas-komunitas adat yang tak masuk dalam struktur LATS dianggap tidak sah. Bahkan, inisiatif pengakuan terhadap Cek Bocek melalui Perdes Lawin No. 1 Tahun 2020 dan dukungan dari Perda Provinsi NTB No. 11 Tahun 2021 seolah tak berarti. Bagi para elite di DPRD dan Pemda, jika tak berada di bawah LATS, maka bukan masyarakat adat.

Inilah wujud baru dari oligarki lokal berbasis budaya. Dalam politik Indonesia kontemporer, oligarki tak hanya lahir dari konglomerat atau pengusaha tambang. Ia juga tumbuh dari dalam struktur adat yang dilembagakan, lalu dibajak untuk melayani kepentingan ekonomi dan kekuasaan. LATS dan Kesultanan Sumbawa, dalam konteks ini, telah melampaui fungsi kultural mereka. Mereka menjadi aktor politik, pembentuk narasi tunggal, bahkan broker budaya dalam proyek-proyek strategis daerah—mulai dari tambang hingga pariwisata.

Pemerintah daerah seperti tak kuasa menolak. Bahkan, mereka menjadikan legitimasi adat versi LATS sebagai dasar menolak keberadaan komunitas adat lain. “Sudah ada LATS. Tidak perlu yang lain.” Pernyataan semacam itu mencerminkan ketidaktahuan atau kesengajaan menutup mata terhadap prinsip dasar hukum konstitusional kita: bahwa pengakuan masyarakat adat bersifat plural, kontekstual, dan tidak tunggal.

Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 35/PUU-X/2012 telah menegaskan: negara hanya mengakui masyarakat adat yang masih hidup dan memiliki wilayah, bukan yang disahkan oleh organisasi tertentu. Dengan kata lain, eksistensi adat tak boleh disubordinasi oleh struktur formal semata.

Namun, di Sumbawa, yang hidup justru sebaliknya. Struktur LATS dan simbol Kesultanan digunakan untuk mengontrol tafsir budaya, meredam klaim wilayah adat lain, dan—yang paling tragis—menyediakan “pintu masuk” bagi korporasi besar seperti tambang emas dan tembaga yang mengincar kawasan adat. Lembaga adat menjadi pembuka jalan, bukan penjaga tanah.

Kita sedang menyaksikan bentuk baru dari kolonialisme internal: ketika simbol budaya dipakai untuk menutup ruang hidup komunitas lain yang sama-sama memiliki akar sejarah. Dan ironisnya, semua dilakukan dengan stempel hukum daerah.

Mengapa Ini Bahaya?

Karena jika dibiarkan, pengakuan adat akan berubah menjadi mekanisme eksklusi, bukan inklusi. Masyarakat adat yang tak sesuai dengan tafsir resmi akan terus diabaikan. Lebih buruk, mereka akan dianggap “ilegal” jika mempertahankan haknya.

LATS bisa hidup berdampingan dengan komunitas adat lain—jika tidak terjebak dalam ambisi menjadi satu-satunya wajah budaya. Kesultanan pun bisa memainkan peran simbolik yang penting—jika tidak dirangkul elite politik sebagai alat legitimasi proyek-proyek rakus. Tapi semua itu mensyaratkan pemisahan yang jelas antara warisan budaya dan kepentingan politik-ekonomi.

Apa yang Harus Dilakukan?

  1. Cabut monopoli pengakuan adat oleh LATS. Negara tidak boleh memfasilitasi satu lembaga sebagai “tangan kanan” budaya.
  2. Dorong pengakuan plural lewat jalur legal komunitas. Perdes dan Perda Provinsi NTB sudah memberi ruang. Tinggal dijalankan dengan itikad baik.
  3. Desak audit relasi kuasa antara elite adat dan korporasi tambang. Banyak proyek masuk melalui legitimasi simbolik, bukan partisipasi masyarakat.
  4. Kampanyekan keberagaman adat sebagai kekuatan, bukan ancaman.

Penutup

Negara tidak boleh tunduk pada simbol. Dan masyarakat adat bukan milik satu lembaga. Jika hukum terus membiarkan hanya satu tafsir adat yang sah, maka yang kita bangun bukan pengakuan, melainkan represi budaya yang dilegalkan. Dan ketika budaya dijadikan alat represi, maka semua kehilangan rumah: baik yang tua, yang muda, maupun yang seharusnya diwarisi.

Related Articles

Back to top button