Bupati, Tambang, dan Strategi ala VOC di Sumbawa

Oleh: Gentar Alam ketua Sumbawa Green ActionDan pemuda suku berco
“Kolonialisme lama tak pernah pergi. Ia hanya berganti baju, dari seragam Kompeni menjadi jas korporasi.”
Di Sumbawa, sejarah kolonialisme tidak pernah benar-benar berakhir. Hanya medianya yang berubah. Dulu kapal layar VOC berlabuh untuk mengangkut rempah. Kini, kapal kontainer dan alat berat PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT) mengambil alih, mengangkut tembaga dan emas dari Batu Hijau, dan kelak dari Proyek Elang. Di tengah panggung ini, Bupati Sumbawa Haji Syarafudin Jarot memerankan diri sebagai jembatan antara pemerintah daerah dan modal besar—peran yang di era VOC pernah dimainkan oleh sultan dan bangsawan yang dipelihara oleh Kompeni.
Latar Kekuasaan: Politik dalam Bayang Modal
Haji Syarafudin Jarot bukan politisi yang muncul tiba-tiba. Ia membangun modal sosial dan jaringan dari dunia bisnis dan hubungan elite. Namun, ketika ia menduduki kursi bupati, ia tidak hanya menjadi pemimpin administratif, melainkan juga pengelola ekosistem politik yang sudah lama dibentuk oleh industri tambang raksasa.
Di daerah kaya sumber daya seperti Sumbawa, kekuasaan kepala daerah selalu berinteraksi dengan modal besar. Perusahaan tambang berskala global seperti AMNT tidak sekadar hadir sebagai entitas ekonomi, melainkan sebagai aktor politik yang memengaruhi tata ruang, infrastruktur, kebijakan lingkungan, hingga arah pembangunan daerah.
Strategi Ala VOC: Kuasai Sumber Daya, Kendalikan Kekuasaan
Sejarah VOC memberi tiga pelajaran utama dalam mengamankan sumber daya:
1. Kontrol Akses Sumber Daya – VOC memonopoli rempah dan memutus akses rakyat terhadap komoditas strategis. AMNT memonopoli wilayah tambang dengan izin negara, mengunci akses masyarakat adat ke tanah leluhur dan sumber air.
2. Kooptasi Elite Lokal – VOC menggandeng bangsawan untuk menjadi penghubung antara rakyat dan Kompeni. AMNT menggandeng kepala daerah dan elite politik untuk menjaga “iklim investasi” dan meredam gejolak sosial.
3. Bagi-Bagi Keuntungan untuk Beli Loyalitas – VOC membagi hadiah dan fasilitas untuk menjaga kepatuhan. AMNT memberi beasiswa, membangun infrastruktur, dan menggelar program CSR yang sekaligus menjadi instrumen pencitraan.
Polanya serupa: kuasai sumber daya, kendalikan kekuasaan, dan beli loyalitas. Bedanya, bendera VOC kini diganti logo korporasi global yang bicara tentang “pembangunan berkelanjutan” sambil tetap menguras isi bumi.
Pembangunan yang Didefinisikan oleh Tambang
Narasi pembangunan yang diusung Bupati Jarot berfokus pada pertumbuhan ekonomi, serapan tenaga kerja, dan peningkatan PAD. Namun, semua itu didefinisikan dalam bingkai ekstraktif—tambang sebagai lokomotif ekonomi.
Yang jarang dibicarakan adalah distribusi manfaatnya. Keuntungan besar mengalir ke pemegang saham dan pusat modal, sementara masyarakat adat seperti Cek Bocek/Selesek Reen Sury menghadapi perampasan ruang hidup, degradasi lingkungan, dan hilangnya identitas kultural.Pembangunan ala tambang mengabaikan prinsip FPIC (Free, Prior, and Informed Consent) dan menempatkan rakyat hanya sebagai penonton di tanahnya sendiri.
Politik Simbolik dan Penjinakan Kritik
VOC dulu memanfaatkan pesta adat dan simbol budaya untuk memoles citra di mata rakyat. AMNT dan pemerintah daerah mengulang pola ini: penandatanganan MoU, seremoni peresmian fasilitas publik, hingga retorika “kemitraan strategis” menjadi tameng dari kritik substantif.
Kritik dari masyarakat sipil dan komunitas adat kerap direduksi menjadi gangguan terhadap “stabilitas investasi”. Dalam logika ini, pemerintah daerah justru menjadi peredam ketegangan, bukan fasilitator keadilan.
Menggugat Kolonialisme Baru
Relasi antara Bupati Syarafudin Jarot dan AMNT harus dibaca sebagai bagian dari struktur kekuasaan yang mempertahankan logika kolonialisme sumber daya: kendalikan komoditas, kuasai ruang politik, beli loyalitas elite.Bedanya, hari ini kita tidak lagi melihat kapal perang dan pasukan bersenjata, tetapi kontrak investasi, izin usaha, dan bahasa korporasi yang manis di depan media.
Selama kepala daerah berperan sebagai manajer kepentingan modal, bukan pelindung hak rakyat, Sumbawa akan terus menjadi ladang eksploitasi. Kekayaan keluar, ketimpangan tertinggal.
Dari VOC ke AMNT, Sejarah Tak Pernah Benar-Benar Usai
Kita diajari di sekolah bahwa VOC dibubarkan pada 1799. Tapi di Sumbawa, semangatnya masih hidup—hanya berganti wajah. Dulu para bangsawan lokal dilegitimasi untuk menjaga jalannya perdagangan rempah; kini kepala daerah diberi panggung untuk mengamankan jalannya tambang.
Haji Syarafudin Jarot dihadapkan pada pilihan sejarah: menjadi pemimpin yang mengembalikan kedaulatan rakyat atas tanah, air, dan sumber daya, atau menjadi bagian dari mesin kolonialisme baru yang beroperasi dengan lisensi negara.
Bagi masyarakat adat dan rakyat Sumbawa, pertarungan ini bukan tentang pro atau anti pembangunan. Ini soal siapa yang punya hak mendefinisikan masa depan: rakyat yang hidup di tanah ini, atau korporasi yang datang untuk mengeruknya.
Kita terlalu lama melihat elite lokal menjadi mandor kapital global. Saatnya mengakhiri pola VOC yang dibungkus jargon “pembangunan berkelanjutan”. Sumbawa harus menjadi milik rakyat Sumbawa, bukan catatan kaki di laporan tahunan perusahaan tambang.
“Kami tidak menolak masa depan. Kami menolak masa depan yang dirampas.”