Menimbang Program Pemda Sumbawa: Antara Good Governance dan Realitas Sosial
Sumbawa, fokus NTB – Pemerintah Kabupaten Sumbawa belakangan ini menegaskan komitmennya dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Istilah ini memang terdengar indah—transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik menjadi jargon utama. Namun, sebagaimana ditegaskan oleh Pierre dan Peters (2000), good governance tidak hanya soal institusi dan prosedur, tetapi juga tentang hasil nyata yang dirasakan masyarakat. Pertanyaannya: sejauh mana program Pemda Sumbawa benar-benar mencerminkan hal tersebut?
Program Ekonomi: Pertumbuhan atau Keadilan?
Pemda Sumbawa menitikberatkan pembangunan ekonomi melalui investasi dan proyek infrastruktur. Dari sisi teori pembangunan, pendekatan ini cenderung berorientasi pada growth model, yang mengasumsikan pertumbuhan ekonomi otomatis akan menetes ke bawah (trickle-down effect).
Namun, pengalaman di banyak daerah menunjukkan sebaliknya. Petani, nelayan, dan UMKM masih menghadapi masalah struktural: keterbatasan akses modal, rantai distribusi yang panjang, hingga minimnya inovasi produk. Jika tidak ada intervensi kebijakan yang berpihak secara nyata, program ekonomi justru berisiko memperlebar kesenjangan, di mana kelompok besar diuntungkan sementara masyarakat kecil tertinggal.
Transparansi: Antara Idealisme dan Formalitas
Dalam teori good governance, transparansi menuntut adanya keterbukaan data publik agar masyarakat dapat mengawasi jalannya pemerintahan (UNDP, 1997). Pemda Sumbawa memang telah menyediakan laporan resmi, tetapi masih dalam bentuk ringkas dan sulit diakses secara kritis oleh warga biasa. Transparansi yang parsial seperti ini berpotensi menjadi formalitas, bukan alat kontrol sosial yang efektif.
Partisipasi Publik dan Masyarakat Adat
Salah satu aspek penting dalam good governance adalah partisipasi. Partisipasi bukan sekadar hadir dalam forum konsultasi, melainkan keterlibatan penuh dalam proses perumusan kebijakan. Dalam konteks Sumbawa, hal ini relevan dengan keberadaan masyarakat adat, terutama di wilayah yang bersinggungan dengan konsesi pertambangan dan perkebunan.
Prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC), yang diakui dalam standar internasional, mestinya menjadi acuan Pemda. Namun, implementasi di lapangan sering terbatas pada sosialisasi satu arah, bukan dialog sejajar. Dengan demikian, masyarakat adat cenderung menjadi objek pembangunan, bukan subjek yang berdaulat.
Refleksi: Mengubah Arah Kebijakan
Sebagai refleksi, Pemda Sumbawa perlu menggeser paradigma dari sekadar mengejar indikator pertumbuhan menuju pencapaian keadilan sosial. Good governance tidak berhenti pada tata kelola administratif, melainkan harus memastikan manfaat pembangunan dirasakan secara merata.
Dengan kata lain, pembangunan daerah bukan hanya soal menambah angka di laporan kinerja, tetapi juga tentang memberi ruang bagi masyarakat—khususnya kelompok rentan—untuk ikut menentukan arah kebijakan.